Misteri terusan Porong Sidoarjo, wilayah pusat Kahuripan dan Majapahit

Misteri terusan Porong Sidoarjo, wilayah pusat Kahuripan dan Majapahit
6


"Majapahit kembali memusatkan kekuatannya di wilayah yang sama dengan jaman Erlangga, yakni selingkaran terusan kali Porong, Sidoarjo," ujar Begawan pujangga Rakryan Vadia Andika, yang berusia satu seperempat abad. Tatkala itu Prabu Hayam Wuruk telah mangkat 1000 hari. Seluruh balatentara Majapahit mulai disiagakan di lima titik kekuatan laut perairan Nusa Antara guna menjaga serbuan dari Utara. Tiongkok di Utara sedang disibukkan oleh persoalan dalam negerinya sendiri, maka luputlah perhatian terhadap Majapahit yang tengah kehilangan orang kuatnya yang menguasai seluruh perairan belahan bumi selatan Khatulistiwa.
     Satu-satunya putri sang begawan yang sejak tadi mendengarkan sang ayahanda, ia baru menginjak dua dasawarsa. "Mengapa wilayah terusan kali Porong itu begitu penting bagi Majapahit maupun Kahuripannya Erlangga, ayahanda?" Dewi Anggia tidak mampu menahan keingintahuannya walau sang ayahanda baru menguntapkan satu kalimat saja.
     Begawan pujangga Majapahit itu terhenti sejenak, kemudian melanjutkan kisahnya, "Wilayah terusan kali Porong itu dulunya tandus, sedangkan aliran Sungai Brantas menuju Laut Jawa yang melalui Kali Mas itu selalu menimbulkan banjir, wilayah yang digenangi luapan Sungai Brantas itu tak jauh dari wilayah tandus tersebut. Maka pada suatu hari atau sekitar tigaratus limapuluh tahun yang silam, Erlangga mengerahkan segenap rakyatnya untuk membangun terusan Porong yang bermuara di Selat Madura. Selanjutnya seputar terusan wilayah itu berubah menjadi daerah pertanian yang subur, dan Sungai Brantas tidak meluap lagi di sepanjang Kali Mas. Dengan karyanya yang masyhur itu pada masa selanjutnya Erlangga bagi kaum tani dimarakkan sebagai penjelmaan Wishnu," Begawan itu bersuara tenang dan membuai putrinya ke masa silam.
      "Erlangga sebagai penerus Wangsa Isyana tatkala itu menjadi pemegang tunggal takhta Kahuripan di Jawa Timur sebagai pengganti kerajaan Medang yang hancur akibat serbuan Sriwijaya. Medang memusatkan kekuasaannya di wilayah sekitar gunung Kelud. Gunung berapi itu tersohor dengan aktivitasnya berupa letusan dahsyat secara periodik di seantero Jawa Timur."
      "Bukankah Sungai Brantas itu juga sebagian sumber airnya berasal dari Gunung Kelud, ayahanda?" Dewi Anggia yang setengah tersadar tiba-tiba menyela dengan suara pelahan tapi merdu sekali. Sang ayahanda tersenyum, dan mengalihkan ceritanya.
      "Ya, bukan hanya air itu yang berasal dari Kelud, akan tetapi juga antara Kelud dan wilayah Porong Sidoarjo terdapat terusan atau terowongan bawah tanah. Dan melalui terowongan bawah tanah itulah mengalir gas alam dari perut bumi tepat tegak lurus di bawah kawah gunung Kelud,  gas itulah yang yang membuat daerah itu semakin tandus."
      Dewi Anggia tidak menyela lagi, "Kerajaan Kahuripan itu dibangun di wilayah tandus itu yang telah diubah Erlangga menjadi subur dengan membuat terusan Porong yang dapat mengalirkan Sungai Brantas mengaliri wilayah tandus itu, dan empat ratus tahun lamanya sampai hari ini tentu saja telah mengendap ke bumi sehingga terbentuklah kolam air raksasa bawah tanah. Dan kolam bawah tanah itu dihangatkan oleh aliran gas magma yang berasal dari perut bumi di bawah Gunung Kelud," lanjut Ra Vadia, sejenak mengawasi pintu depan yang setengah terbuka. 
      Cuaca beberapa hari terakhir agak mendung. Gubug di pinggiran pusat Majapahit itu tampak teduh dikelilingi pagar hidup. Hanya terdengar kicauan burung menjelang tengah hari itu. 
      "Ayahanda pernah mengatakan baginda Erlangga kemudian memindahkan keraton Kahuripan ke wilayah sekitar Gunung Emas Kumambang, Kediri, bukan?"
      "Terpaksa Erlangga membangun ulang keraton di tempat yang baru itu agar tidak jauh dari pertapaan putri mahkota Sanggramawijaya. Wilayah Porong ditinggalkan selama tigaratus tahun, sebelum Sri Krtarajasa membangun kembali Majapahit di wilayah itu," ujar Begawan pujangga Ra Vadia Andika kemudian mulai memainkan pengguritnya di atas rontal.
      Dewi Anggia mengawasi Ayahandanya bekerja itu hanya berusaha menahan diri, diam-diam mengawasi keluar pintu. Pikirannya dipenuhi kisah masa silam. "Ayahanda, wilayah terusan Porong yang sejak jaman baginda Erlangga hingga Prabu Hayam Wuruk telah diketahui sebagai daerah genting, daerah yang memiliki potensi bahaya, mengapa mereka tetap mendirikan pusat pemerintahan di wilayah semacam itu?"
      "Mereka ingin menguburkan dan mengaburkan jejak mereka di masa depan? Begitu maksudmu, putrinda?"
      "Ya, ayahanda."
      "Pada suatu hari wilayah bahaya ini entah dengan cara apa dan bagaimana akan terkubur ke dasar bumi, gas panas dari terowongan Kelud yang sampai wilayah ini ditambah kolam bawah tanah raksasa timbunan air Brantas akan membentuk uap panas yang siap keluar dari perut bumi."
      Ra Vadia Andika terhenti sejenak mengisi paru-paru tuanya, "Semua kerajaan di Jawadwipa selalu dibangun di dekat wilayah gunung berapi sehingga setiap saat dapat tersapu bersih oleh muntahan dari letusan gunung itu. Maka tak terkecuali bagi Majapahit yang telah dibangun di atas wilayah yang luarbiasa, wilayah yang setiap saat dapat tenggelam atau amblas ke dasar bumi."
      "Ayahanda, apa istimewanya suatu wilayah yang berada dekat gunung berapi sehingga kerajaan didirikan di sana?" Dewi Anggia menyela pelahan.
      "Wilayah yang dekat gunung berapi itu wilayah yang suci, ananda. Karena buminya selalu dipanasi dan dihangatkan api suci dari perut bumi. Demikian pula pusat Majapahit yang berada tak jauh dari terusan Porong telah cukup dihangatkan terowongan bawah tanah dari Gunung Kelud. Tempat itu sudah memenuhi syarat untuk dibangun sebagai pusat kerajaan Majapahit karena telah disucikan oleh api suci Kelud dan disucikan air suci Brantas."
      Putri begawan itu sejak tadi terdiam di pojok ruang utama gubuk Ra Vadia. Tidak sebagaimana biasa ia pulas sambil bersandar di dinding rumah.
      Begawan pujangga Vadia kemudian meneruskan kisah itu untuk dirinya sendiri, "Selama tigaratus tahun sejak wilayah terusan Porong itu ditinggalkan Erlangga, wilayah itu masih terus aman, dan tentu saja semakin menarik bagi pendatang baru yang kasat mata dan tidak kasat mata. Sampai kapan wilayah terusan itu dapat aman? Dan kalau terjadi sesuatu bagaimana mengatasinya?" Ra Vadia kembali bekerja memainkan penggurit di atas rontal. Ia terdiam cukup lama, dan membiarkan putrinya tertidur di pojok ruangan itu. Sang begawan berusaha tidak membuat suara sedikitpun agar tidak membangunkan sang putri tercinta.
      "Jika terjadi sesuatu atas wilayah terusan Porong ini, misalnya bencana bumi ambles," Begawan itu berbicara dalam kepalanya, setelah menggurit beberapa lembar rontal kemudian ia melanjutkan, "leluhur Kahurupan mengajarkan agar mengatasi, mengerjakan, dan menyelesaikan pada saat yang tepat, dan saat yang tepat itu ialah tatkala Gunung Kelud meletus. Oleh karena itu apapun dan segenap daya upaya harus dikerahkan dalam mengatasi bencana di wilayah ini, caranya yakni dengan bersiap siaga sambil mempersiapkan diri dan segala peralatan untuk digunakan pada saat Gunung Kelud meletus!"
     Ruangan itu kembali sunyi tak terdengar, apapun. Begawan pujangga Majapahit itu terus bekerja dengan rontalnya sepanjang hari itu.

*****


Subowo bin Sukaris
hasta mitra Updated at: 12:38 PM