Showing posts with label tragedi 1965. Show all posts
Showing posts with label tragedi 1965. Show all posts

Misteri berabad: Kudeta Arok dan G30S

Misteri berabad: Kudeta Arok dan G30S
mbah subowo
1300 Saka.
     Akuwu Tumapel, Tunggul Ametung, tewas di tangan Kebo Ijo. Akan tetapi yang marak sebagai Akuwu Tumapel yang baru ialah Arok.
     Arok yang notabene pemilik keris hasil karya Empu Gandring itu justru menjadikan keris berlumuran darah tersebut sebagai barang bukti bahwa Kebo Ijo adalah si pembunuh. Benarkah Kebo Ijo yang telah membunuh Tunggul Ametung? Pertanyaan berabad itu bermetamorfosa menjadi misteri keris Empu Gandring yang menelan korban tujuh generasi keturunan Arok.
     1965 Masehi.
     Letkol Untung cs menculik para jenderal untuk dihadapkan pada Presiden Sukarno. Akan tetapi faktanya para jenderal tersebut malah terbunuh dalam proses penangkapan/penculikan. Benarkah para penculik yang menerima perintah penangkapan itu yang telah melakukan pembunuhan?
     Dari berbagai literatur dinyatakan bahwa Presiden Sukarno tidak memerintahkan menangkap para jenderal apa lagi memberikan perintah untuk membunuh mereka.
    Pertanyaan puluhan tahun itu bermetamorfosa menjadi misteri,  PKI-Partai Komunis Indonesia, tidak akan bangkit lagi dalam kurun tujuh generasi. Kalau satu generasi dihitung rata-rata 25 tahun, berarti mungkin dibutuhkan waktu 175 tahun. Sesuai perhitungan maka pada 2140 M, PKI mungkin baru bisa bangun dari tidurnya.
     Arok saksi kunci peristiwa tewasnya Tunggul Ametung oleh tangan Kebo Ijo. Benarkah Kebo Ijo bertindak atas kemauan sendiri? Siapa yang memberikan peluang bagi Kebo Ijo untuk menancapkan keris karya Empu Gandring ke tubuh Akuwu Tumapel itu? Mengapa yang digunakan untuk membunuh Tunggul Ametung adalah keris milik Arok yang dipesannya pada Empu Gandring beberapa waktu lalu? Dan sebenarnya keris tersebut oleh Empu Gandring sendiri dinyatakan belum selesai sempurna dikerjakan proses pembuatannya.
     DN Aidit Ketua CC PKI memiliki kewenangan membentuk Biro Chusus yang selanjutnya dibenggoli Syam. Syam inilah yang memiliki kuasa khusus dan tanpa batas atas BC, ia bertindak dengan mengatasnamakan Ketua CC PKI tatkala memberikan perintah penangkapan para jenderal di atas.
     Adakah perintah dari Syam kepada pasukan Cakrabirawa melalui Komandan Pasukan Pengaman Presiden Letkol. Untung Syamsuri hanya berupa perintah untuk menculik/menangkap para jenderal dan selanjutnya menghadapkan pada Presiden?
     Atau Syam Kamaruzaman yang juga memerintahkan untuk membunuh para jenderal yang berhasil diculik, jika mereka (para jenderal) tidak mau bekerja saja atau melawan? Atau pembunuhan itu atas inisiatif sendiri dari pimpinan pasukan penculik?
     Kedua peristiwa di atas berpatut 750 tahun dengan hasil akhir yang sama: penggantian rejim penguasa yang sah melalui cara-cara yang tidak sah/inkonstitusional.
     Sekian untuk sekali ini.

*****
Subowo bin Sukaris
hasta mitra Updated at: 7:49 AM

Ramalan Jayabaya tentang kutukan bagi Orde Baru

Ramalan Jayabaya tentang kutukan bagi Orde Baru

mbah subowo bin sukaris

Korban peristiwa/tragedi 1965 menurut para akademisi serta data berbagai karya ilmiah dari segenap penjuru dunia tidak diragukan kebenarannya berjumlah lebih besar daripada korban perang Vietnam vs Amerika Serikat.
      Bangsa Belanda yang “mengasuh” pribumi Nusantara selama tiga setengah abad sudah mengetahui betul, bahwa bangsa yang lemah-lembut hidup di jamrud khatulistiwa ini bisa beringas tanpa sebab yang logis.
      Kesimpulan para pakar Belanda adalah alam bawah sadar mereka (kaum pribumi)  yang masih menyimpan memori kegelapan purba jika terpicu oleh “sesuatu” maka secara spontan bertransformasi menjadi tindakan primitif dan barbar.
      Akhir-akhir ini (5/2016) berita cetak maupun online meributkan soal beredarnya “lambang organisasi terlarang”, aparat masih bertindak  sama semasa Orba tetap menggunakan payung hukum Tap MPRS 25/1966 serta Tap MPR 1/ 2003.
      Di satu sisi negara yang sah mengukuhi keabsahan Tap produk “rekaan” Orde Baru tersebut, sementara di sisi lain menganggap Tap tersebut inkonstitusional sejak dalam pikiran pencetusnya.
      Pro-kontra mengenai penyelesaian kasus tragedi 1965 selama puluhan tahun tidak pernah tuntas. Mengapa? Peristiwa 1965 yang berupa banjir bandang darah yang berujung pada maraknya Soeharto ke panggung kekuasaan pada 1967 (dengan cara menjungkalkan Proklamator Bung Karno) diramalkan tuntas pada 2027 tercantum dalam Kitab Musarar  Jayabaya, sinom kedelapan belas,

                 gajah meta
            Semune tengu lelaki
             Sewidak warsa nuli
         Ana dhawuhing bebendu
              Kelem negaranira
           Kuwur tataning negari 
                                                                               (Kitab Musarar, sinom 18)

“gajah meta semune tengu lelaki (Raja [baca: presiden]  yang disegani/ditakuti, namun nista [baca: Soeharto]). Selama enampuluh tahun (dihitung sejak beliau mulai marak ke singgasana) menerima kutukan sehingga negaranya tenggelam (tak berjaya)  dan hukum menjadi carut-marut tidak karuan.”

Kutukan bagi Orde Baru selama 60 tahun yang akan berakhir pada 2027, sebelum titimangsa itu maka negara akan tenggelam dalam berbagai kesulitan, masalah, serta mengalami carut-marut hukum seperti yang tercantum dalam Kitab Musarar Jayabaya bernuansa  Islami ditulis oleh Sunan Giri III pada 1618 M.
      Sedangkan bukti otentik bahwa Sri Aji Jayabaya memiliki karya tulis (ramalan) menurut para akademisi  sejauh ini memang belum ada, akan tetapi tidak bisa dibantah lagi bahwa beliau (Sri Aji Joyoboyo) memang berabad-abad dipercaya adalah nujum ampuh pada jamannya.

*****
Subowo bin Sukaris
hasta mitra Updated at: 10:01 PM

Masyarakat Sosialis Indonesia

Masyarakat Sosialis Indonesia
Joesoef Isak


Dalam rekomendasi Yayasan Adikarya IKAPI kepada penerbit "Pancur Siwah" disarankan meminta tokoh wartawan senior, Rosihan Anwar menulis kata-pengantar bagi buku kenangan Umar Said ini (Perjalanan hidup saya / A. Umar Said). Di samping itu Pimpinan Pancur Siwah, Masri Maris PhD, atas saran Umar Said juga meminta hal yang sama kepada saya dengan catatan bila pak Rosihan bersedia menulis kata-pengantar, maka tulisan saya akan dijadikan kata-penutup alias epilog. Saya menghargai IKAPI yang dalam penilaiannya menyatakan memoar Umar Said pantas diterbitkan karena menganggapnya sebagai suatu "dokumen sosial", dan Umar Said boleh beruntung bahwa Rosihan Anwar bersedia menulis pengantar untuk memoarnya ini.
      Mendengar nama Umar Said, apalagi mengetahui bahwa ia seorang wartawan orde-lama, hidup dalam asylum di Prancis sebagai refugee-politik sepanjang masa rejim Orde Baru Suharto, mungkin pembaca mengharapkan bisa mendapat-kan "suara lain" daripada apa yang didengar dan ditulis selama ini. Harapan seperti itu wajar saja. Selama kekuasaan Suharto telah berlangsung penyeragaman berpikir bagi seluruh kawulo; dan penulisan sejarah republik dimonopoli oleh satu versi penguasa saja. Sekarang muncul Umar Said. Di bidang pers baru sekaranglah bisa hadir suara lain, suatu pandangan alternatif. Saya tidak ikut dalam gelombang besar yang sekarang menuntut "pelurusan penulisan sejarah". Yang perlu dituntut adalah mutlak berhentinya monopoli satu versi.
      Yang di-perlukan sekarang adalah membiasakan berdemokrasi, melatih diri terbiasa menenggang suara lain, memberikan kesempatan sama kepada "de anders-denkenden", kepada berbagai nara-sumber untuk muncul dan didengar oleh pembaca dan seluruh masyarakat. Versi Orde Baru yang rancu dan monopolistik tidak usah dilarang atau dihapus, bila mau diterus-teruskan pun dibiarkan sajalah. Yang penting : nara-sumber dari mana pun asalnya mendapatkan kesempatan dan kebebasan yang sama untuk tampil. Sudah waktunya berhenti menganggap pembaca bodoh tidak mampu menilai apa yang benar, apa yang setengah benar atau pun yang paling ngawur. Oleh karena itu saya ikut mendesak penerbit Pancur Siwah untuk meminta kesediaan Rosihan Anwar menulis kata-pengantar, walau pun saya tahu Rosihan Anwar dan Umar Said politis berdiri berseberangan.
* * *

Saya kenal penulis bukan saja bagai keluarga sendiri, dia rekan seprofesi, sesama wartawan, yang sepanjang kerja jurnalistik senantiasa seiring-sejalan -- bahkan dapat ditambahkan tidak pernah bersilang jalan. Dalam epilog ini saya tidak akan memasuki apa yang ditulis Umar Said dalam bukunya, substansi yang dia urai-kan adalah hak dan urusannya sendiri. Yang terasa perlu digelar di sini adalah gambaran latar-belakang kehidupan dan situasi politik semasa Umar Said aktif bergelimang sebagai wartawan dalam kurun waktu yang disebut oleh para pengikut Orde Baru sebagai periode orde lama, atau semasa Bung Karno menjadi Presiden. Dengan sendirinya gambaran saya akan berbeda dengan versi yang selama ini dianggap benar dan paling sah. Orde Baru yang pegang kekuasaan mutlak selama tiga dekade lebih sudah mem-berikan gambaran dan pen-jelasan yang baku mengenai masa Soekarno menjadi Presiden itu. Versi itulah satu-satunya yang serba maha benar dan harus seragam dipercaya : orla serba salah, demokrasi terpimpin otoriter, Soekarno diktator, UUD 45 dilanggar, PKI berkhianat, karena itu perlu koreksi total, hukum harus ditegakkan.
      Kita lantas semua sudah tahu implikasi dan praktek apa yang diker-jakan oleh Suharto dan para pendukungnya pada saat melaksanakan koreksi total dan penegakan hukum itu. Setelah Suharto lengser, terjadi kik-balik keras sekali. Desakan bermunculan untuk mengungkap kebenaran dan menghapus kebohong-an. Beramai-ramai orang menuntut pelurusan sejarah, versi rekayasa Orde Baru harus dikoreksi, dsb, dsb. Saya tidak berkeberatan atas semua tuntutan itu, juga tidak menjadi soal bila versi Suharto berikut para pendukungnya masih mau terus dipertahankan di era reformasi ini. Bagi saya tidak terlalu urgen melurus-luruskan sejarah. Seperti sudah di-singgung di atas, terpenting di sini adalah mutlak berhentinya versi Suharto yang dianggap dan harus diterima sebagai satu-satunya versi pa-ling benar. Tidak lagi cuma versi sejarawan Suharto yang boleh eksis dan wajib dipercaya sebagai kebenaran, bahkan diterima sebagai kenyataan. Versi lain, narasumber lain, dari siapa pun asalnya dan berapa pun jumlahnya, harus bisa hadir dalam ruang dan kesempatan yang sama. Di sinilah saya melihat arti penting hadirnya tulisan Umar Said, suatu narasumber lain yang tentu mempunyai visi dan sudut-pandang sendiri. Ini sekaligus berarti bahwa apa yang diuraikan Umar Said pun tidak perlu diklaim sebagai "sekarang inilah yang benar". Semua terpulang pada pembaca, pembaca tidak bodoh. Pembaca punya hak penuh untuk bebas menilai dan juga sah menarik kesimpulan sendiri. Itu pulalah yang menjadi titik--tolak tanggapan saya mengenai tulisan Umar Said yang dimuat sebagai epilog dalam buku ini.
      Dalam uraian ini saya sedapatnya menghindari stempel-stempel siap-pakai yang latah diobral di masa lalu: kiri-kanan-pki-psi-revolusioner-reaksioner-komunis-soska dan sebagainya. Label-label itu tidak sepenuh-nya salah akan tetapi kandungan arti yang diusung-usung sarat dengan perbedaan interpretasi sesuai selera si pemakai masing-masing. Memanglah benar di atas pentas politik Indonesia ada pihak-pihak yang berseberangan sikap, bertentangan keyakinan politik. Dalam garis besar saya membagi konfigurasi politik masyarakat kita itu dalam dua kubu utama.
      Kubu Pertama ditandai dengan golongan yang tidak suka pada Soekarno, segmennya cukup bervariasi, mulai kelompok yang dianggap elit intelektual, pengidap penyakit kronis sukuisme tersembunyi -- tidak suka Jawa, cenderung pada federalisme, anti Bung Karno, sampai ke politisi anti-komunis yang sudah tidak ketolongan.
      Kubu Kedua adalah kelompok pendukung Soekarno, nasionalis moderat sampai ke para pengkultus fanatik Soekarno, kelompok progresif fellow-travellers komunis, para marxis, komunis, crypto-komunis.
      Jelas bahwa garis pemisah yang saya pakai adalah Soekarno, dan untuk seterusnya saya akan menyebutnya dengan KUBU-I dan KUBU-II. Varian signifikan yang perlu dicatat di sini adalah militer yang aktif berpolitik -- ter-buka atau tertutup. Tempat mereka yang benar adalah di kubu-I, akan tetapi mereka mampu tampil quasi progresif-revolusioner, canggih dan lincah berintegrasi dalam kubu-II, konsep teritorial dengan kodam dan kodimnya memungkinkan mereka berada di mana-mana.

* * *

Sekarang saya coba menggambarkan visi yang selama ini tidak mungkin tampil mengenai "jaman Soekarno", periode yang dibakukan dengan julukan orla itu. Karena kita sedang bicara tentang buku seorang wartawan, maka gambaran saya ini dengan sendirinya lebih khusus menyangkut wartawan dan dunia kewartawanan -- meski junalistik pada akhirnya tidak bisa tidak merupakan cerminan masyarakatnya tempat dia tumbuh.
       Setelah pecah malapetaka nasional September 1965, Soekarno pernah mengatakan bahwa kita mengalami set-back delapan tahun. Apakah maksud pernyataan itu? Esensi set-back delapan tahun yang dimaksud oleh Presiden Soekarno akan kita kaji di sini dalam aspek jurnalistik.
      Dari tahun ke tahun pers dan terutama PWI didominasi oleh para wartawan kubu-I. Pengurus PWI Pusat sejak PWI didirikan boleh dikatakan selalu dipegang kelompok wartawan kubu-I. Dalam tiap kali kongres, tokoh pers seperti misalnya Djawoto selalu kalah. Pada saat berlangsungnya Konperensi Asia-Afrika di lobi Gedung Merdeka 1955 di Bandung, para wartawan Asia-Afrika yang hadir pernah sepakat menyelenggarakan konperensi Asia-Afrka di bidang kewartawanan. Akan tetapi bertahun-tahun ikrar itu hanya tinggal niat belaka. Soalnya kristalisasi politik dan ideologi sudah mulai mengental, gema Perang Dingin sudah mulai terasa pengaruhnya di Indonesia. Kubu-I yang tidak suka Soekarno dan mendominasi PWI -- juga "dunia bebas" barat -- menganggap "konsep A-A" adalah konsep Soekarno yang hanya akan menguntungkan kekuatan kiri, oleh karena itu ikrar wartawan A-A di Bandung tidak pernah menjadi acara untuk diimplementasi dan pencalonan tokoh seperti Djawoto tidak pernah tembus.
       Situasi mulai berubah ketika Indonesia kembali ke UUD 45 dan Soekarno di tahun 1959 mendeklarasikan Manipol, Manifesto Politik. (Perlu pendalaman siapa pendukung utama kembali ke UUD 45). Canang perubahan diawali dari Jakarta, pimpinan PWI cabang Jakarta terlepas dari kelompok wartawan kubu-I. Bola pendukung Bung Karno mulai menggelinding. Dalam Kongres PWI se-Indonesia di Makasar 1960, Djawoto barulah bisa terpilih sebagai Ketua PWI Pusat yang baru. Kubu-II tahu betul bahwa militer ikut aktif berusaha mempertahankan Teuku Sjahril atau rekan sepahamnya, akan tetapi kali ini pemilihan Djawoto tidak bisa dibendung. Barulah sekarang timbul situasi kondusif (meminjam istilah populer sekarang), untuk di tahun 1962 mulai mengimplementasi idee terlantar yang lahir di Bandung : KWAA, konperensi wartawan Asia-Afrika yang melahhirkan PWAA, Persatuan Wartawan Asia-Afrika.
      Cukup banyak kisah-kisah latar-belakang yang menarik di balik perubahan sikap dan jiwa PWI -- katakanlah dari kanan ke kiri --, demikian juga latar-belakang lahirnya PWAA, organisasi wartawan yang juga sekaligus menjadi organisasi politik karena sadar melibatkan diri dalam gerakan pembebasan Afrika yang ketika itu masih banyak menjadi jajahan, solider menentang penahanan Nelson Mandela, dan juga aktif menentang perang Vietnam. PWI dan PWAA tidak lagi mengikuti konsep iseng "jurnalistik demi jurnalistik" atau "sastra demi sastra", pers progresif dengan sadar melibatkan diri dalam perjuangan politik demi kebebasan, keadilan, kesejahteraan dan perdamaian -- semua harus demi kepentingan rakyat di atas segalanya. Begitulah jargon semasa itu yang dikenal dengan slogan politik adalah panglima. Kubu-I menentang keras slogan itu, yang perlu dicatat di sini mereka menolaknya sebagai slogan tetapi menerapkannya secara lebih ketat, lebih efektif, lebih konsekwen dalam segala segi praktek hidup kemasyarakatan -- jadi tidak seperti yang dilakukan kubu-II yang mengumandangkannya sebagai slogan tetapi tidak selalu konsisten dalam melaksana-kannya. Kita lihat bagaimana penerapan politik adalah panglima berjalan lancar dan sangat efektif dalam praktek, terutama setelah kubu-I di bawah bendera Orde Baru berkuasa mutlak sesudah 1965, hasilnya : bersih lingkungan, lantas penjara-penjara di seluruh Indonesia penuh dengan orang-orang yang tidak se-politik dengan mereka.
      Umar Said sebagai wartawan melibatkan diri aktif dalam segala perkembangan dan perubahan PWI maupun PWAA. Beda dan kelebihan dari rekan-rekannya, dia tidak cuma mengurus jurnalis-tik dan politik, tetapi dia juga berminat dan telaten sekali mengurus administrasi dan keuangan. Itu sebabnya anak Madura sumando urang Minang ini selalu menjadi tenaga teras bila menyangkut urusan dana dan keuangan PWI dan PWAA. Bakat itu pula rupanya membikin dia sebagai refugee-politik berhasil membangun Restau-rant Indonesia di Paris, sumber mempertahankan hidup di rantau orang dan sekaligus menjadi sentra kegiatan politik. Dari restoran itu dia bersama rekan-rekannya senasib melancarkan gerakan HAM dan kampanye solidaritas bagi sejuta lebih kawan setanah-air yang meringkuk dalam penjara-penjara Suharto; dari restoran itu pula diluncurkan gerakan pembebasan Timor Timur di luar negeri, setelah jauh hari sebelumnya di tahun 1976 Umar Said memprakarsai berdirinya di Paris Komite Solidaritas Timor Timur.
      Kerja keras PWI-PWAA sekian lama berikut segala prestasi politik yang berhasil diraihnya hancur-lebur -- mendadak dengan sekali pukul segalanya sirna dalam malapetaka September 1965. Angkatan Darat Indonesia dan kubu-I dengan dukungan penuh kekuatan anti-komunis sedunia dalam Perang Dingin, mencetak kemenangan mutlak gilang-gemilang: Soekarno tersingkir, PKI hancur. Indonesia mendadak berubah kwalitatif, bahkan perubahan politik di Indonesia mengubah pentas dan peta politik dunia. Bukan hanya PKI hancur-lebur, akan tetapi kelanjutannya juga kubu komunis internasional berantakan total hanya sesudah tokoh nasionalis seperti Bung Karno berhasil disingkirkan. Indonesia di bawah pimpinan Jendral Suharto lantas diterima dengan tangan terbuka dalam barisan "dunia bebas".
      Bubarnya PWAA dan PWI-manipolis hanyalah satu bagian dari apa yang dimaksudkan dengan set-back delapan tahun oleh Bung Karno. Inti set-back delapan tahun yang lebih dalam dan paling mendasar adalah tersapunya bersih pemikiran-pemikiran progresif yang susah-payah dan dalam waktu lama diusahakan diperkenalkan pada masyarakat dan rakyat Indonesia. Masyarakat adil-makmur yang dicita-citakan -- dalam istilah politik modern dirumuskan dengan masyarakat sosialis Indonesia --, itulah set-back yang sesung-guh-nya karena sama sekali sudah tidak menjadi acara lagi! Kita mungkin masih ingat betapa berangsur-angsur istilah sosialis atau sosialisme mulai diperkenalkan dan diusahakan menjadi milik massa -- "disosialisasikan" bila memakai istilah sekarang. Memperkenalkan idee-idee progresif kepada rakyat bukanlah gampang dan jelas tidak berjalan dengan sendirinya. Mula-mula dengan berhati-hati diperkenalkan istilah Sosialisme ala Indonesia, kemudian berangsur kata ala sudah tidak perlu dipakai lagi, akhirnya cukup satu kata sosialis atau sosialisme saja, tanpa perlu ada kekhawatiran lagi bahwa penggunaan kata sosialis dianggap identik dengan komunis, momok yang mengerikan itu. Jangan-kan berjalan dalam praktek sebagai suatu sistem, sebagai istilah pun kata "sosialis" menjadi tabu. Satu-satunya kata "sosialis" semasa itu hanya melekat pada singkatan PSI. Kebanyakan orang tidak memakainya karena khawatir sekali diasosiasikan dengan komunis. Kebodohan tragis dan ironis, bukan?
       Bung Karno "mensosialisasikan" pemikiran progresif di segala segmen kegiatan masyarakat, PWAA dan PWI-manipolis didorong maju, wartawan-wartawan senior direkrut; Adam Malik, B.M. Diah, Djawoto, Sukrisno, Tahsin diangkat jadi duta-besar untuk memompa darah baru dalam dunia diplomasi kita. Bung Karno juga melancarkan usaha pembaruan misi dan visi dalam lembaga dunia seperti Olympiade dan PBB. Tetapi semua rencana Bung Karno berhasil digagalkan. Lantas apa yang kita dapat sebagai pengganti set-back delapan tahun itu?
       Ini dia, pancasila yang sebenarnya : Pancasila Suharto. Sudah pada minggu pertama setelah 30 September 1965, jendral Suharto mengawali kekuasaannya dengan kebohong-an. Perempuan-perempuan Gerwani di Lubang Buaya menari-nari tanpa busana lengkap sambil menyilet-nyilet jendral-jendral yang masih hidup, katanya. Dimulailah proses menggiring segenap kawulo ibarat ternak untuk berpikir serba seragam, menerima dan memamah biak apa yang diputuskan dan apa yang dimaui penguasa. Bukan saja rakyat kecil yang awam, tetapi wartawan, sarjana, politikus, anggota parlemen, kalangan pendidikan tinggi, ya lapisan intelegensia kita beramai-ramai pada percaya apa yang dikatakan Suharto. Dengan diawali rekayasa kebohongan itulah, maka segala kebijakan dan garis politik Orde Baru diarahkan untuk menumpas PKI dan pendukung Soekarno sampai ke akar-akarnya sebagaimana diucapkan pimpinan politik dan militer Orde Baru.
      Saya meminjam istilah sosiologi -- reifikasi -- untuk menggam-barkan eksistensi kekuasaan Orde Baru. Reifikasi adalah suatu proses di mana hasil rekayasa (bikin-bikinan kutak-katik otak manusia -- dalam hal ini otak Suharto dan pendukungnya), berproses lama-kelamaan dianggap sebagai kebenaran dan pada akhirnya dianggap sebagai kenyataan, diterima sebagai suatu realitas. Abstraksi dianggap dan kemudian diterima sebagai realitas yang nyata dan benar ada. Fenomena reifikasi ini berjalan sepanjang kekuasaan Orde Baru. Dimulai dengan anggota Gerwani menyilet-nyilet jendral, kemudian setiap lima tahun para wartawan, para pakar ilmu sosial, politisi, dengan mesin mass media yang dikuasai, menulis, mengkaji, menganalisis dengan segala kecanggihan daya fikir mereka bahwa "tidak bisa tidak kita memerlukan ABRI, lembaga terbaik organisasinya dengan para anggota- yang paling berpen-didikan, dan tidak bisa tidak hanya jendral Suharto orangnya yang tepat menjadi Presiden lagi". Maka jadilah dia presiden selama tigapuluh tahun secara sah konstitusional. Masih ingat, bukan?
      Itulah namanya murni reifikasi, abstraksi diterima sebagai kebenaran. Ironi paling besar : justru Suharto sendiri membuktikan bahwa semua itu adalah nonsens, tidak lain daripada abstraksi, rekayasa yang dirasionalisasi. Ketika dia lengser, dia menyerahkan kuasa-kepresidenan pada seorang sipil; setelah itu masih menyusul lagi dua presiden sipil lain. Kok bisa? Kok bisa Indonesia dipimpin presiden yang bukan ABRI? Memang pasti bisa, akan tetapi kaum intelektual kita yang tigapuluh tahun terkontaminasi reifikasi dan serba penyeragaman, sudah mandul berpikir -- sudah tidak punya kemampuan lagi membedakan antara abstraksi dan realitas, antara kebohongan dan kebenaran, antara isapan jempol dan jempolnya sendiri.
      Kalau menyimpulkan makna set-back delapan tahun yang diucapkan Bung Karno, maka kita lihat bahwa set-back dalam esensinya paling utama adalah rontoknya idee-idee progresif dari bumi Indonesia, tidak ada lagi sosialis atau sosialisme. Semua itu diganti dengan suatu kondisi yang berlipat-ganda parahnya : krisis kerangka berpikir, sadar tak sadar manusia Indonesia mulai berpikir rancu akibat penyeragaman berpikir masal, rutin dari tahun ke tahun lewat segenap mesin mass-media dan buku pelajaran sekolah. Keadaan sangat parah ini rupanya oleh elit penguasa tidak dianggap sebagai suatu masalah. Situasi masyarakat patologis yang kejangkitan rancu kerangka berpikir, terlewat begitu saja tanpa ada yang khusus menanganinya. Sering keadaan seperti itu saya sebut sebagai krisis intelektual, krisis yang seribu kali lebih gawat daripada KRISMAN dan KKN yang relatif lebih mudah diatasi, dan memang cuma krismon dan kkn itu sajalah yang ditangani.
      Ekses rancu berpikir akibat sepertiga abad penyeragaman berpikir menjadi gejala umum yang menjangkiti orang awam sampai-sampai kepada intelegensia kita. Kita tahu kaum intelegensia di mana pun sepanjang sejarah umat manusia menjadi motor emansipasi dan peradaban, tetapi di Indonesia justru intelegensia kita paling parah terkontaminasi dengan berbagai reifikasi. Ekses-ekses itu menggejala dalam bepikir apriori, prasangka, pola-pola baku, dogma, pendangkalan, simplifikasi kesimpulan, analisis pukul-rata. Semua itu kita temukan bukan saja pada orang awam, tetapi justru dalam kadar tinggi pada para politikus dan kaum intelegensia kita. Dan karena segmen elit ini cukup berpendidikan, maka justru kerancuan itu dengan berbagai dalih ilmiah dan quasi ilmiah mampu dirasionalisirnya. Dengan satu kata saya menyebut hal seperti itu sebagai KEBODOHAN, kebodohan yang ujung-ujungnya mengejawantah dalam kekerasan dan bom, atau memanifestasi dalam tulisan dan kebijakan yang korbannya jauh lebih besar daripada bom Bali, Marriott atau Kuningan. Kebodohan dan kekerasan memang adalah saudara kembar dari satu janin. Contoh kebodohan yang seiring-sejalan dengan kekerasan:  bom berserakan, kerusuhan etnik dan agama meletus di mana-mana, tapol berserakan dalam penjara-penjara di seluruh Indonesia, pulau Buru, peristiwa 27 Juli, dll, dll.
      Karena dangkal dan serba simplifikasi dengan sendirinya segala analisis menjadi serba apriori, cukup banyak intelektual sama-sama memamah-biak bahwa Soekarno diktator -- mereka hanya lihat datar di permukaan, sudah mandul tak mampu mendalami bagaimana power-structure sesungguhnya semasa itu? Siapa sesungguhnya yang berkuasa? Sudah tidak tajam penglihatan (atau memang sengaja tidak mau melihat) bahwa di "jaman Bung Karno" ada demokrasi terpimpin dan ada demokrasi terpimpin. Yang pertama adalah Demokrasi Terpimpin Bung Karno, konsep yang mengidealisir rakyatlah yang harus menang dan jangan selalu majikan yang menang, demokratie met leiderschap Dewantoro yang belum menemukan vorm-nya, mencari-cari dan masih harus berkembang sebagaimana yang dicita-citakan. Akan tetapi sebelum sempat membuktikan manfaat bagi rakyat, Demokrasi Terpimpin Bung Karno sudah dihancur-leburkan di tahun 1965.
     Yang kedua adalah demokrasi terpimpin produk teoritikus teritorial jendral Nasution. Ini berjalan efektif dengan perangkat wewenang hierarchy teritorial, garis-komando vertikal dan horisontal (nation-wide) dengan kekuatan ampuh senjata di tangan, tetapi semasa masih ada Soekarno konsep kedua ini harus berjalan berbarengan dengan konsep Bung Karno. Setelah Soekarno berhasil dijatuhkan, maka segala yang negatif di lempar ke muka Soekarrno. Kedangkalan dan analisis serba apriori, tidak mampu lagi melihat konsep demokrasi terpimpin mana sebenarnya yang jalan, siapa sebenarnya yang pegang kekuasaan.
      Penyair Schiller pernah mengucapkan kata-kata bersayap : "Against stupidity, the Gods themselves battle in vain", melawan kebodohan, para dewa pun bertarung sia-sia! Orang Paris lebih menajamkannya pada kenyataan : "Contre le prejudice, les Dieux eux-memes luttent en vain", melawan prasangka, para dewa pun bertarung sia-sia, dewa-dewa kewalahan tak berdaya apa-apa. Sederhana pakai bahasa istri Umar Said : Di urang, buruak saketek tungau -- tampak. Di awak, buruak sagadang gajah -- indak tampak.
      Dalam masyarakat yang daya fikirnya sudah sebegitu patologis, sudah sulit mencari orang terpelajar yang bebas dari segala reifikasi Orde Baru, bahkan kerancuan berpikir ini sudah juga menjangkiti kelompok kubu-II. Orang-orang yang seyogianya bisa membedakan antara abstraksi dan realiti, antara metafisik dan dialektik, sadar atau tak sadar mereka pun sudah bergelimang dalam kerancuan kerangka berfikir, denkfouten kata orang Belanda. Dalam keadaan menyedihkan seperti sekarang ini, saya teringat pada seorang yang sudah tiada : Soebadio Sastrosatomo, tokoh setia PSI, pewaris sah Sutan Sjahrir, seorang pemimpin yang saya anggap sepenuhnya bebas dari reifikasi Orde Baru. Dia pernah dipenjarakan di "jaman Soekarno", walau pun begitu dia menulis : "Soekarno adalah Indonesia, Indonesia adalah Soekarno". (Omong-omong pernahkah dipelajari mendalam power structure semasa itu dan mencoba cari tahu siapa di belakang pemenjaraan Soebadio cs?). Kepada saya langsung Soebadio mengatakan : Sjahrir seorang jenius, intelektual berpendidikan barat, dia tegas memperjuangkan Indonesia merdeka, tetapi dia berpikir barat. Soekarno juga berpendidikan barat, tetapi bedanya dengan Sjahrir, Soekarno dengan kedua kakinya kukuh berdiri di bumi Indonesia. Itu sebabnya dia tahu kultur bangsanya dan mengerti betul rakyatnya. Saya -- masih kata-kata Soebadio -- setuju kalau Bung Karno mengatakan dirinya penyambung lidah rakyat.
      Pada saat Soebadio menghormati Soekarno, tidak berarti dia melecehkan Sjahrir, malah sebaliknya dia tetap tinggi menyanjung Sjahrir. Baginya dua pemimpin bangsa itu tidak harus dipertentangkan. Kepada saya Soebadio melanjutkan : "sudah waktunya berhenti memaki-maki Hatta dan Sjahrir, sudah waktunya berhenti memaki-maki Soekarno. Kita bukan musuh. Pendukung Soekarno, Hatta, Sjahrir harus bersatu menghadapi musuh sesungguhnya, fasisme Suharto. Galang persatuan Soekarno-Hatta-Sjahrir melawan faisme Suharto." Saya menyebutnya sebagai "thesis Soebadio".
      Begitulah secara harfiah ucapan Soebadio kepada saya, sedangkan dia tahu betul siapa saya. Dia bercerita dalam bahasa yang campur-campur Belanda : di mata si A, di mata si B je bent een communist, di mata si C tidak, kau bukan komunis. Nama-nama yang tidak perlu saya ungkap di sini ketiga-tiganya adalah orang PSI. Soebadio konsekwen pada ucapannya membuka pintu bertukar-pikiran dengan  sukarnois, bekas PNI, bekas PSI, komunis, atau siapa pun yang bukan pendukung fasisme Suharto. Saya tidak mau dituduh menjejal kata-kata ke dalam mulut Soebadio, tetapi konfirmasi kebenaran apa yang dia ucapkan dapat didengar dari sekretaris pribadi Soebadio yang sampai sekarang masih terus aktif bekerja.
      Uraian panjang-lebar mulai dari reifikasi sampai ke Soebadio ini seakan sudah melantur jauh dari topik pembahasan buku Umar Said. Sama sekali tidak! Uraian berpanjang-panjang ini justru diperlukan untuk menghadapi buku Umar Said, si komunis, si crypto-komunis, entah apa saja lagi pangkatnya. Silakan bebas mengalungkan label di leher orang lain (demokrasi!), yang paling tahu tentang seseorang tentulah yang bersangkutan sendiri -- dan yang terpenting biar pembaca sendiri menarik kesimpulan. Konsekwensinya : Umar Said, atau siapa pun, anggota PKI, anggota PSI, anggota Masjumi, anggota Murba, PNI Marhaen, pendeknya siapa pun tanpa kecuali tidak harus dan tidak perlu mempertanggng-jawabkan keyakinan politik masing-masing. Selama masih berada di wilayah keyakinan, mau berpegang teguh pada keyakinan masing-masing adalah hak-azasi manusia paling sah, kecuali bila sudah melempar-lempar bom. Itu pun pertanggungan-jawabnya mutlak harus lewat prosedur pengadilan tak berpihak, tidak benar sama sekali cuma dengan tudingan satu telunjuk jari.
       Moral seluruh epilog ini : jernih berpikir, bebas dari segala tesis-tesis reifikasi Orde Baru, bebas dari berfikir serba apriori, mampu retrospeksi antara rekayasa abstraksi dan realitas; kesemua itu adalah pra-syarat bila mau menyumbang pada penyembuhan dan pembaruan Indonesia, kepada Indonesia yang adil-makmur, pada masyarakat sosialis Indonesia.

***

__________
Catatan Redaksi : Penulis epilog sebelum September 1965 adalah wartawan, sesudah 1965 adalah salah seorang tapol.
Subowo bin Sukaris
hasta mitra Updated at: 11:00 PM

"Dunia di Balik Jeruji: Kesaksian Perlawanan"


Mengkaji catatan bung Wilson dari penjara, saya ingin memulai dengan mengutip bebas ucapan Jusuf Kalla sebelum ia dilantik resmi menjadi wakil presiden. Apa yang diucapkan mencerminkan niat baiknya setika ia mengimbau agar pengalihan kepemimpinan nasional berlangsung santun dan damai, tanpa menghujat pimpinan yang mundur. Sesuatu yang agaknya diharapkan menjadi tradisi dalam prilaku kita berpolitik. Semua itu diperlukan demi rekonsialisasi bangsa, demikian harapan Jusuf Kalla.


"Dunia di Balik Jeruji: Kesaksian Perlawanan"

Kata Pengantar 

Joesoef Isak


      Penggunaan kata "menghujat" (menghujah) terasa seakan kita berada di wilayah agama, sehingga apabila kita menghujat maka kita telah membuat suatu dosa besar. Sebenarnya bukan hanya dari segi agama, dalam konteks politik pun "menghujat" adalah sesuatu yang harus ditabukan, karena menghujat tidak lain berarti memfitnah. Namun segalanya menjadi salah kaprah pada saat "menghujat" kebablasan di-identikkan dengan mengkritik penguasa.
      Megawati sebagai ketua PDI-P di tahun 1998 dalam salah satu tampilannya yang pertama di Gedung Pancasila Pejambon mempesona banyak orang ketika dia menyerukan untuk tidak menghujat Presiden yang baru saja melngsrkan diri. Dan selama kekuasaannya, Megawati sebagai ketua PDI-P mau pun sebagai Presiden tidak pernah menghujat Presiden Suharto, walau pun semasa jendral Orde Baru itu berkuasa, Presiden Soekarno yang dia gulingkan tidak habis-habis dihujat lewat para pendukungnya dalam segala posisi dan dalam berbagai kesempatan -- terang-terangan mau pun terselubung. Soeharto sendiri dengan penuh kearifan memaafkan semua kesalahan Bung Karno, "mendem jero, junjung duwur" katanya. Eufemisme khas budaya munafik Suharto yang implisit memfitnah Bung Karno terlibat "G30S-PKI". Apa yang dilakukan Suharto adalah betul-betul mendem jero (pendam dalam-dalam) Bung Karno di Wisma Yaso yang dia jadikan penjara pribadi, dan junjung duwur (junjung tinggi) teknik-teknik mengelabui publik dengan cara halus. Apa yang dikerjakan Suharto adalah memenjarakan Bung Karno, tetapi kepada pers dan publik dikatakan menjaga keselamatan Bung Karno.
      Baris-baris introduksi yang diuraikan di atas, sepenuhnya berkaitan dengan Wilson karena isi bukunya bercerita tentang pengalaman penjara yang dengan sendirinya akan menyangkut masalah hukum dan kebijakan penguasa, begitu pun berkait dengan ucapan Jusuf Kalla yang mendambakan rekonsiliasi.

***

Saya tertegun mengeleng-geleng kepala membaca catatan-catatan Wilson yang sekarang dibukukan ini. Usianya boleh dikatakan separoh umur saya -- di tahun 60-an dan 70-an saya sudah mengalami berbagai perlakuan kesewenang-wenangan kekuasaan Orde Baru Suharto, misalnya ditahan tanpa pernah diadili, lalu saya diangkat resmi menjadi anggota PKI tanpa diberi kartu-anggota dan tentu juga tanpa sepengetahuan D.N.Aidit dan PKI, lantas dimulailah gerakan massal bersih lingkungan yang menyeret seluruh keluarga sampai ikut merasakan berbagai kesengsaraan.
Wilson yang seusia anak saya rupanya juga harus mengalami hal yang sama -- cukup terperanjat saya menyadari bahwa kekejaman dan kesewenang-wenangan hukum rupanya berkelanjutan panjang sekali sampai-sampai melintas generasi. Sekian lama pemerkosaan hukum dan ketidak-adilan menjadi kelaziman sehari-hari tanpa ada kekuasaan yang mengatakan "stop!" walaupun sudah tampil tiga presiden baru sesudah Suharto lengser. Kesewenang-wenangan melecehkan hukum dimulai 1965 -- tigapuluh tahun kemudian di tahun 1995 Wilson dan kawan-kawannya yang belum lahir atau di tahun 1965 masih bayi merasakan perlakuan sama dengan apa yang dialami oleh generasi sebelumnya. Bukankah keadaan seperti itu bisa terjadi karena larangan menghujat identik dengan larangan mengkritik penguasa?
      Hipokrisi, eufemisme, basa-basi canggih tapi kosong, "ya" yang tidak selalu berarti "ya", "tidak" belum tentu berarti "tidak" membudaya pada elit penguasa dan kebanyakan politisi kita. Masyarakat terlatih berpikir munafik: tidak ada penahanan, yang ada adalah pengamanan demi kepentingan yang bersangkutan sendiri; tidak ada lagi buruh yang selalu menentang majikan, yang ada hanyalah karyawan yang bekerjasama dengan majikan dalam rangka hubungan industrial pancasila; tidak ada lagi pemecatan, yang ada hanyalah phk. Tidak ada kenaikan harga, yang ada hanyalah penyesuaian tarif, bla-bla-bla, bla-bla-bla. Tidak disadari lagi kita terbiasa hidup dalam masyarakat sakit yang parah kejangkitan kemunafikan. Tidak mengherankan kebusukan yang harus diangkat ke permukaan untuk dibersihkan tuntas -- sekali dan untuk selamanya --, tetap saja mendem jero, kebusukan itu tetap ada di tengah-tengah kita. Kita hidup rutin bersamanya.

***

"Untung Wilson masuk penjara!" Kata-kata seperti itu tentu tidak pantas diucapkan terhadap orang yang sedang kena musibah seperti dialami Wilson. Tetapi saya hanya meminjam kelakar jitu almarhum Gepeng, pelawak tenar Srimulat yang berkata "untung ada saya!"
    Untung ada Wilson, untung dia masuk penjara Cipinang, untung dia alumnus ilmu sejarah dan sebelum ditahan banyak melakukan penelitian sosial. Berkat itu semua, sekarang kita menjadi banyak tahu tentang isi Penjara Cipinang yang minim dibeberkan terbuka kepada publik. Sebagai seorang peneliti sosial, dia secara lugas mencatat apa yang dia alami dan lihat sendiri, laporan-laporannya pun akurat bertanggal masa kejadian. Di penjara Cipinang itulah dia jumpa orang-orang usia lanjut, segenerasi bapaknya bahkan juga kakeknya yang menunggu eksekusi hukuman mati, vonis seumur hidup, atau sekarat menahun tetapi tetap dipenjarakan -- jangankan dipulangkan, dibawa ke rumah sakit pun tidak. Orang-orang lanjut usia itu adalah dari kategori apa yang disebut tahanan G30S-PKI. Silakan membaca rentetan nama dalam kategori lansia itu dalam buku Wilson ini. Dia juga jumpa tapol TimTim, antara lain Xanana Gusmao, Presiden Timor Leste sekarang, reformis berani yang tidak ditolerir Suharto, Bintang Pamungkas, tapol golongan Islam, kelompok-kelompok yang pada awalnya di tahun 1965 seiring-sejalan dan mendukung jendral Orde Baru Suharto. Tetapi rupanya the founding father rejim Orde Baru tidak bisa terima orang-orang berpikiran lain, "de andersdenkenden", mereka pun akhirnya mendarat di penjara. Karena penjara Cipinang bukan khusus penjara tahanan-politik, dengan sendirinya Wilson cs menjadi berteman juga dengan para tahanan kriminal.
    Yang sekarang menjadi jelas bagi saya setelah membaca buku Wilson, kebijakan bersih lingkungan semasa 60-an dan 70-an rupanya berlanjut terus dan mengimbas juga Wilson cs, para intelektual muda yang ketika itu bergabung dalam kekuatan alternatif PRD. Mereka merupakan kekuatan pontensial penerus komunisme PKI yang sangat berbahaya, tentu begitulah penilaian penguasa Orde Baru yang otomatis di-endorsed oleh banyak inteligensia dan pers kita. Bahwa politisi dan inteligensia kita percaya dan menerima mentah-mentah apa yang dikatakan Penguasa tidaklah mengherankan, karena dalam masyarakat berjalan proses pembodohan secara efektif dalam bentuk penyeragaman berpikir dalam segala posisi dan dalam segala hal. Praktek bersih lingkungan tetap berjalan konsisten, memang agak berbeda namun dalam esensinya apa yang dialami oleh Wilson berikut kawan-kawannya ketimbang yang dialami tapol-tapol tua sebelumnya adalah tetap sama. Keluarga pengurus teras PRD di pusat mau pun daerah rupanya ikut terseret-seret mengalami musibah gara-gara anak mereka dianggap komunis berbahaya. Budiman keluarganya didatangi Korem, orangtua Putut di Purwokerto diinterogasi kasospol setempat, ibu Garda Sembiring dijadikan tersangka, Petrus keluarganya diteror, keluarga para intelektual muda ini -- termasuk Dita Sari -- ikut menderita akibat kebijakan bersih lingkungan khas rejim Orde Baru itu. Hampir semua dari para tapol muda yang sebenarnya calon sarjana pada putus kuliah, mereka dipecat oleh pimpinan universitas yang dalam praktek sepenuhnya seragam menjalankan kebijakan bersih-lingkungan pimpinan Orde Baru.
      Menarik adalah narasi Wilson tentang pergaulan mereka sehari-hari di dalam penjara -- interaksi perorangan dan kelompok yang berbeda pandangan, keserasian yang secara wajar tumbuh di antara mereka yang berlainan keyakinan politik dan ideologi. Hal ini saya anggap sebagai faktor plus di penjara, sesuatu yang positif dan produktif. Mereka saling lebih mengenal, saling tolong-menolong, Wilson bahkan membantu beberapa tapol lansia menuliskan memoar masing-masing. Tumbuh solidaritas sependeritaan, mereka lebih mengerti satu sama lain meski berbeda pandangan. Sebenarnya "kakak generasi" Wilson sudah mengalami hal yang sama duapuluh tahun sebelumnya. Di tahun 1974 rejim Orde Baru menjebloskan ke dalam penjara para pemuda dan mahasiswa yang dituduh makar dalam Peristiwa Malari. Faktor plus penjara ketika itu adalah bahwa mereka berkesempatan jumpa dengan para tapol komunis yang oleh Penguasa dianggap sangat berbahaya. Mereka sempat membaur dan dengan sendirinya sempat berdiskusi dengan Syam Kamaruzaman, Munir, Sudisman, Nyono, Supardjo, Subandrio, Omar Dhani dan masih banyak lagi. Tapol-tapol muda itu jelas tidak menjadi komunis, akan tetapi bertambah kaya pengalaman, berwawasan lebih luas, matang politik. Dan kematangan politik itulah membuat mereka sadar pada suatu kenyataan, bahwa orang-orang yang semula dianggap musuh berbahaya, ternyata sama sekali bukan musuh -- sebaliknya mereka dengan rasional menjadi tahu siapa musuh mereka sesungguhnya yang harus dilawan bersama. Perkembangan positif yang sama berlangsung juga dengan generasi yang lebih muda lagi, Wilson dan kawan-kawan di Penjara Cipinang.
     Tanpa Keppres, tanpa Undang-undang, tanpa DPR/MPR dan tanpa elit pimpinan parpol, berlangsung proses rekonsiliasi secara wajar antara mereka yang berbeda keyakinan sebagaimana sudah lama diidam-idamkan masyarakat untuk hidup rujuk dalam alam kerukunan nasional. Sudah tentu rekonsiliasi di dalam penjara dalam satu komunitas terbatas dan juga wilayah terbatas, tidak bisa berlangsung dengan sendirinya dalam masyarakat luas dan dalam kehidupan politik di luar penjara di mana terdapat pihak yang berkuasa dan pihak yang dikuasai, kwantitas tentu mempengaruhi kwalitas dengan warga-negara yang jumlahnya melebihi duaratus juta orang. Jadi syarat apakah yang diperlukan untuk mewujudkan rekonsiliasi yang betul-betul berjalan dan berfungsi, agar menjadi prilaku politik semua aktor dan kekuatan sosial dalam masyarakat?
      Pada akhir kajian tentang buku Wilson ini, saya ingin kembali kepada ucapan niat luhur Jusuf Kalla untuk menyelenggarakan rekonsiliasi setelah pihak-pihak bersangkutan cukup lama sejak 1965 berseteru berhadap-hadapan.

***
Kita lihat banyak inisiatif positif dilakukan oleh perorangan mau pun lembaga-lembaga seperti LSM untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional. Anak-anak korban G30S dan anak-anak para Pahlawan Revolusi telah memberikan contoh konkret, mereka mengubur masa lalu dan sepakat bersama mau membangun masa depan yang lebih baik dalam semangat rekonsialisi sejati. Ada yang bergabung dengan kelompok anak-anak korban tersebut, dan berpikir sejalan dengan seruan Kennedy "forgive but never forget", sikap seperti itu pun bolehlah kita terima sebagai sikap positif. Ada pula yang mengatakan "tunggu dulu, jangan gampang-gampang saja menuntut rekonsiliasi. Harus lebih dulu dilakukan katarsis total, fisio -- mau pun psycho-catharsis", komplet pembersihan soul and mind, rohani dan pemikiran. Yang berpendapat seperti itu biasanya menganggap pihak lain yang harus membersihkan diri, sedangkan dirinya sendiri tak perlu mawas-diri karena merasa tidak punya kesalahan apa-apa, melainkan hanya jadi korban semata-mata. Walau tuntutan katarsis seperti itu cuma lalu-lintas searah, itu pun boleh saja kita perhatikan untuk dikaji dan ditemukan pemecahan permasalahannya.
     Namun inti permasalahan rekonsiliasi bukan terletak di situ. Terwujudnya rekonsiliasi nasional pasti tidaklah cukup hanya dengan segudang niat baik, tidak cukup hanya dengan katarsis jiwa dan pikiran oleh satu pihak atau pun kedua pihak yang berhadapan, juga tidak cukup dengan banyaknya inisiatif perorangan atau kelompok. Realisasi rekonsiliasi bukan semata-mata urusan perorangan yang memiliki niat baik, tetapi rekonsialisi paling hakekat adalah masalah kekuasaan -- lebih dipertajam lagi : masalah watak kekuasaan yang mutlak harus memiliki kemauan politik tegas untuk menegakkan hukum.
      Orang-orang di Indonesia yang mendambakan rekonsiliasi nasional telah kontan-kontan nyontek rekonsiliasi yang terjadi di Afrika Selatan. Tetapi orang-orang dengan niat luhur ini mengabaikan sama sekali satu faktor sangat penting, yaitu bahwa syarat menentukan untuk berhasilnya rekonsiliasi itu memang tersedia di Afrika Selatan, sedangkan di Indonesia sama sekali tidak. Di Afrika Selatan telah terjadi perubahan kekuasan secara kwalitatif, suatu metamorfosa signifikan terjadi dalam watak kekuasaan, yaitu : peralihan resolut radikal dari kekuasaan apartheid de Clerck ke kekuasaan anti-diskriminasi Nelson Mandela. Kekuasaan reaksioner represif beralih ke tangan kekuasaan berwatak progresif. Itulah yang saya namakan perubahan kwalitatif.
     Bagaimana di Indonesia? Adakah terjadi perubahan? Betul, Suharto sudah turun pentas tetapi kekuasaannya -- lebih tepat watak-kekuasaanya -- sama sekali tidak berubah, bahkan seluruh aparat lama Suharto masih tetap utuh, in tact.Watak kekuasaan Suharto sejak dari awal mulai1965 dengan berencana mengobrak-abrik kerukunan nasion, etnik dan agama yang dibangun oleh Bung Karno. Sampai hari ini pun tidak terjadi perubahan kwalitatif sama sekali, bahkan banyak dari warisan Suahrto dengan sadar mau dipelihara dan dilestarikan. Perubahan yang ada hanyalah pada kulit di permukaan saja.

Setelah Perang Dunia II beralih menjadi Perang Dingin, kita saksikan "dunia bebas" menggunakan "komunis" sebagai bahan-bakar penyundut untuk membenarkan penggunaan senjata melawan momok yang sangat menakutkan dunia itu. Kita lihat apa yang telah terjadi dengan Vietnam dan "teori domino" McNamara di masa lalu, tetapi di sana "dunia bebas" gagal total, sebaliknya di Indonesia mereka berhasil gilang-gemilang. "Dunia bebas" yang mempunyai basis kuat di Indonesia sukses menggulingkan Bung Karno dengan bahan-bakar bahaya komunis yang sama. Sekarang bahan-bakar penyundut agak menggeser, di samping komunisme kini terdapat juga bahaya baru : teror Islam fanatik. Kita lihat sekarang, Indonesia terimbas terorisme sehingga harus melawan terorisme itu, akan tetapi di samping itu masih saja sistematis kita dengar : "awas bahaya latent komunis jangan sampai dilupakan!" Kita sudah total sama dan sebangun, sepikiran sebahasa dengan Amerikanya-Bush. Apa lagi bedanya dengan Bushnya-Amerika? Apa yang dianggap bahaya oleh Bush, menjadi juga bahaya bagi Indonesia. Indonesia masakini bukanlah lagi Indonesianya Bung Karno, sadar atau tidak sadar bulat-bulat Indonesia sekarang bernaung bersama "dunia bebas".


(Menyimpang sebentar : Saya sengaja menyebut Amerika dengan Amerikanya-Bush, karena tidak mau me-jeneralisasi Amerika seluruhnya jelek [the ugly America]. Di Amerika cukup banyak terdapat orang Amerika yang baik, unsur-unsur yang bisa dinamakan the New Emerging Forces Amerika. Akan tetapi kentara jelas sekali bahwa The Old Established Forces di Amerika Serikat masih sangat dominan.)

Kita memerlukan kajian psycho-history untuk membaca peta politik nasional dan internasional secara jernih guna membebaskan diri dari segala warisan konflik yang serius mau pun yang artifisial. Tewasnya lebih dari 3.000 manusia tak bersalah dalam kekerasan terkutuk 9/11 terhadap gedung WTC New York, menjadi "berkah" bagi Bush karena dia merasa mendapatkan alasan sah untuk meng-invasi Irak -- lalu dia pun mau menegakkan demokrasi bagi rakyat Irak. Apa yang kemudian terjadi adalah kekerasan tidak henti-hentinya yang menelan ribuan korban rakyat Irak. Misi Bush berkelanjutan terus sampai hari ini tanpa kita tahu kapan akan berakhir. Empatpuluh tahun sebelumnya, Suharto pun mendapat "berkah". Gugurnya jendral Yani cs, para pahlawan revolusi kita dalam kekerasan terkutuk di tahun 1965 menjadi "berkah" bagi Suharto yang dipakai sebagai alasan sah untuk membantai dan memenjarakan berjuta warga Indonesia yang tidak sepaham dengan dia guna membuka jalan ke tampuk kekuasaan tertinggi. Lantas Suharto pun mau menegakkan demokrasi pancasila yang murni dan konsekwen. Jenazah  jendral Yani cs yang patut dihormati, dimanfaatkan oleh jendral Suharto sebagai tempat berpijak untuk mengangkat dirinya ke puncak kekuasaan. Suharto tidak pernah menghormati para jendral yang gugur sebagaimana mestinya selain demi kepentingannya sendiri. Selama tigapuluh tahun berkuasa, ahli-waris para jendral yang gugur pun tidak pernah dia urus atau perhatikan.
     Dan hari ini para pendukung Suharto di era reformasi lagi-lagi memanfaatkan "berkah" berupa warisan ingatan bahaya komunis yang ditinggalkan Suharto. Warisan dendam yang terus dipupuk agar hidup subur selama-lamanya. Sekali lagi timbul pertanyaan: lantas apa bedanya Indonesia dan Bushnya-Amerika -- dulu ada bahaya komunis untuk tidak dilupakan selama-lamanya, sekarang ada bahaya Islam fanatik yang harus dibasmi dengan tuntas. Di lain pihak, para anggota PKI dan pendukung Soekarno yang langsung atau tidak langsung tidak ada urusan apa-apa dengan G30S, mereka pun punya warisan ingatan bagaimana orangtua dan sanak-saudara mereka dipenjarakan dan dibantai. Mereka pun tidak pernah akan lupa bagaimana Bung Karno dipenjarakan di Wisma Yaso sampai pada akhir hayatnya. Bedanya dengan para pendukung Orde Baru, mereka yang terimbas peristiwa G30S menjadi underdog dalam masyarakat dan tidak mampu berinisiatif apa-apa kecuali berusaha bisa tetap eksis dan survive dalam hidup sehari-hari.
     Dari gambaran yang dipaparkan di atas kita lihat betapa pelik dan rumit situasi yang kita hadapi untuk menyelenggarakan suatu rekonsiliasi nasional yang betul-betul workable -- berfungsi efektif dalam masyarakat, menjadi prilaku kita berbangsa dan bernegara.
     Prakarsa anak-anak Yani dan Aidit dengan maksud luhur dan tujuan baik jangan menjadi hanya terbatas semacam silahturahmi "kita-sama-kita", sebuah klub onder onsje, tidak lebih luas gemanya dari sebuah pertemuan arisan. Kendala paling serius untuk rekonsiliasi justru datang dari kubu para pendukung Orde Baru yang dengan sadar memelihara, bahkan menyubur-nyuburkan "warisan ingatan konflik", warisan ingatan bahwa PKI dan komunisme berbahaya, walau pun sekarang sudah hadir pula bahaya Alqaeda, kekuatan Islam fanatik. Padahal yang disebut warisan ingatan berbahayanya komunisme, tidak lain adalah sebuah abstraksi, rekayasa yang diterima dan dianggap sebagai kebenaran, bahkan dianggap sebagai kenyataan. Dalam kenyataan kita lihat bahwa kekuatan Orde Baru yang melawan "bahaya komunisme" itu (juga kekuatan Bush-nya Amerika yang mau menegakkan demokrasi di Irak), dalam praktek telah menghasilkan warisan kemiskinan, kesengsaraan, pembodohan, korupsi, pembantaian dan pemenjaraan warga Indonesia berjuta lipat-ganda daripada korban yang jatuh pada 30 September -- 1 Oktober 1965. Demi terus mempertahankan kenikmatan kekuasaan dan kekayaan yang diraih selama tigapuluh tahun, maka warisan ingatan yang rancu itu oleh para pewaris Orde Baru terus dibakukan, dipupuk, dipelihara dan dibesar-besarkan.
     Jadi bagaimana mau menyelenggarakan rekonsiliasi? Legitimasi kekuasaan negara di tangan lembaga eksekutif dan legislatif berikut perundang-undangan memang merupakan pra-sarana yang diperlukan untuk menyelenggarakan rekonsiliasi nasional, tetapi semua pihak yang terlibat terlebih dulu mutlak menyadari dan harus tahu menangani  duduk- soal dari seluruh masalah yang dihadapi. Menangani duduk-soal yang dimaksud tidak lain adalah pembenahan lebih dulu kerancuan kerangka berpikir selama ini mengenai rekayasa warisan ingatan tersebut. Warisan ingatan apa pun yang ada dalam benak  setiap warga Indonesia, apalagi warisan ingatan sebuah abstraksi yang direkayasa, adalah sulit untuk dihapus. Oleh karena itu, yang harus jelas terlebih dulu bagi semua orang adalah bahwa rekonsiliasi bukanlah  bahwa pihak-pihak yang berseteru politik harus menghapus warisan ingatan konflik mereka, bahwa yang berseteru politik harus bersalam-salaman dan rangkul-rangkulan, harus melakukan katarsis dan sebagainya.
     Rekonsiliasi dalam inti dan pada hakekatnya adalah MENEGAKKAN HUKUM! Ini berarti bahwa institusi Pengadilan yang jujur dan adil mutlak harus menghukum orang yang bersalah, menghukum orang yang jelas-jelas terbukti melakukan tindak pidana hukum. Jadi sekali-kali tidak menghukum orang-orang yang tidak melakukan tindak pidana hukum -- tidak ada dalam hukum apa yang disebut dosa-kolektif. Selama ini dan sampai hari ini, tigapuluh-delapan tahun lamanya berlangsung situasi hukum seperti itu di Indonesia.
      Buku bung Wilson, dan buku-buku lain seperti "Menggelapkan Sejarah" oleh Harsutejo, memoar "Perjalanan Hidup Saya" oleh Umar Said (refugee poltik yang terdampar di Paris), dan masih banyak lagi buku-buku lain dengan tema yang sama mengenai pengalaman penjara dan pembuangan politik, saya mengharapkan agar mengajak kita semua berpikir mengenai rekonsiliasi, mengenai menegakkan hukum dan bukan melestarikan penyelewengan hukum atau impunity. Bahwa perlu diberlakukan amnesti nasional itu adalah masalah lain.

Jakarta, Oktober 2004
Subowo bin Sukaris
hasta mitra Updated at: 10:42 PM

Buku Dokumen CIA 1-5 Oktober 1965

Kudeta dan
Kontra Reaksi : 1-5 Oktober 1965

142.               Memorandum untuk Presiden Johnson441

[Sampai pada baris ini tercantum suatu laporan CIA mengenai situasi]

Sebuah pergerakan dari kekuatan yang mungkin memiliki implikasi yang jauh sedang berlangsung di Jakarta.
Sebuah kelompok yang menyebut dirinya “Gerakan 30 September” me­nya­takan telah menggagalkan sebuah “kudeta para Jenderal” di Indonesia.442 Sejumlah jenderal dan politisi yang tak disebutkan namanya telah ditahan, dan rumah Menhan Jenderal Nasution dan Panglima AD Jenderal Yani dijaga.
Sebuah dekrit dikeluarkan pada tanggal 1 Oktober oleh Letkol. Untung, Komandan Pengawal Presiden, menyatakan bahwa pemerintah akan dikelola oleh Dewan Revolusi Indonesia. Menurut dekrit tersebut, dewan tersebut akan menetapkan kebijakan-kebijakan pemerintah, dan keanggotaan dewan akan diumumkan segera.
Tidak disebutkan segala peranan aktif oleh Sukarno. Radio pemerintah awalnya mengumumkan bahwa Gerakan 30 September diorganisir untuk “menyelamatkan Presiden Sukarno yang kesehatannya sedang dalam keadaan bahaya.” Kemudian ada komentar bahwa dia sudah aman dan “terus menjalankan kepemimpinan negara.”
Kelompok 30 September menyatakan bahwa komplotan jenderal-jenderal tersebut diduga diilhami oleh AS. Jalur telepon eksternal Kedubes AS diputus 3 jam sebelum Radio Indonesia mengumumkan bahwa “kudeta” telah digagalkan. Pasukan ditempatkan di Kedubes.
Tujuan jangka pendek Gerakan 30 September jelas adalah penyingkiran se­gala peranan politik dari elemen-elemen AD anti-komunis dan sebuah perubah­an di dalam kepemimpinan AD. Aksi terhadap elemen-elemen AD serupa nampak direncanakan juga di luar Jakarta. Peristiwa tersebut juga digunakan untuk melahirkan aktivitas anti-AS yang baru.
Nampaknya mungkin bahwa Sukarno sudah tahu sebelumnya gerakan tersebut dan tujuannya. Penggerak utama di dalam keseluruhan peristiwa, bagaimanapun, dalam hal penentuan waktu dan rincian rencana adalah Wakil Perdana Menteri (Waperdam) I Subandrio dan para pemimpin Komunis yang dekat dengannya dan de­ngan Sukarno.


143.                 Memorandum dari Percakapan Telepon
                                antara Wakil Menlu Ball dengan
                               Menteri Pertahanan McNamara443

Washington, 1 Oktober 1965, pukul 09:30

Ball berpikir bahwa bisnis di Indonesia sangatlah buruk. Kondisinya semakin menjadi buruk mungkin karena operasi PKI namun dia tak dapat memastikan. Ball adalah merasa menjadi langkah pertama menuju sebuah pengambil alih­an komunis. Mereka mendorong perwira-perwira muda ke garis depan. Kantor Pusat PKI nampaknya berjalan terus dengan te­nang dan orang-orang tempat kita bergantung di dalam AD berada dalam ta­hanan rumah atau telah ditembak – kita tidak tahu. Orang-orang yang ada di dalam daftar benar-benar tidak terjamin keselamatannya. Subandrio ada di dalam daftar tapi di urutan sembilan. Ini bukanlah sebuah situasi yang sehat pada saat sekarang ini.444
Ball mengatakan bahwa kita sedang melihat rencana beserta berbagai kemungkin­annya yang telah dibuat. Ball meminta orang-orang McNamara dapat melihat bila ada kapal apapun di wilayah tersebut dan mungkin kita akan berbicara dengan Inggris dan Australia mengenai penempatan beberapa pesawat udara di Singapura dalam peristiwa  bila kita harus membawa keluar beberapa orang. Kita memiliki dua ribu orang Amerika di seluruh kepulauan.
McNamara meminta Ball apakah dia hanya memikirkan evakuasi dan tidak ada rencana-rencana lain apapun. Ball berkata bahwa dia akan mengetahui mengenai ini sampai situasi menjadi jelas, McN bertanya klarifikasi macam apa yang dapat membawa kepada aksi lainnya – sebuah pengambil alihan Komunis? Ball menjawab dan berpikir bahwa situasi tidak memi­liki harapan. McN mengatakan apa yang dulu Ball benar-benar minta untuk mereka adalah mempertimbangkan kemungkinan evakuasi. McN mengatakan bahwa mereka akan melaksanakannya.


144.             Memorandum dari Percakapan Telepon antara
                Wakil Menlu Ball dengan Senator William Fulbright445

Washington, 1 Oktober 1965, pukul 15:45.

Ball memanggil Fulbright berkaitan dengan situasi Indonesia dan mengatakan situasi masih sangat gelap. Ada sebuah kudeta dan kontra kudeta dan kita tidak dapat katakan seberapa sukses kontra kudeta tersebut. Ball berkata dengan sangat yakin bahwa kudeta pertama muncul dari pihak kiri. Dilakukan oleh kelompok perwira muda namun dewan yang mereka bentuk sangat condong ke kiri dan ada pertanyaan yang sangat besar mengenai seberapa besar PKI menjadi instrumen di dalam ini atau setidak-tidaknya menyadarinya. Ada banyak kegiatan di dalam kantor pusat PKI yang tetap buka. Kita telah memiliki laporan tiga jam yang lalu bahwa Nasution telah mengendalikan elemen-elemen AD lainnya dan merebut kembali stasiun Radio Jakarta dan menyelamatkan Sukarno dan sampai seberapa jauh dia mampu mengendalikan situasi tidak diketahui. Ball mengatakan jika itu berguna bagi Fulbright dia dapat meluncurkan seseorang sampai memberikan dia latihan. Fulbright mengatakan Lausche dan beberapa orang ingin mengadakan pertemuan namun dia telah mendapatkan laporan bahwa tidak ada informasi yang cukup untuk membenarkannya. Fulbright mengatakan dengan mempertimbangkan lingkungan dia tidak berpikir itu akan berjalan sangat baik. Ball mengatakan bahwa sa­ngat sulit untuk mengetahui bagaimana situasinya – mereka cuma mengatakan Sukarno baik-baik saja dan bahwa mereka telah menyelamatkannya. Pihak lain mengatakan Sukarno sehat-sehat saja. Ball mengatakan dia memiliki perasaan jika Nasution mengambil alih, dia terus berjalan dan membersihkan PKI – ini adalah harapan yang paling optimis, namun tidak jelas pada saat ini. Fulbright kembali mengatakan bahwa dengan mempertimbangkan sifat tentatif darinya akan membuang-buang waktu bagi Ball untuk mengirimkan seseorang sampai hari Senin.446 Fulbright menanyakan bila Nasution merupakan taruhan terbaik dan Ball mengatakan bahwa dia merupakan taruhan yang pa­ling baik namun antipati AD terhadap PKI tidak berdasarkan ideologi – namun AD mung­kin tidak berada di dalam sebuah titik bentrokan – ini adalah (sebuah) motif rendah. Ball dan Fulbright setuju mereka tidak dapat bergantung pada orang Indonesia manapun.

[Mulai pada baris ini tercantum diskusi tidak berkaitan dengan Indonesia.]


145.                  Memorandum dari Percakapan antara
                          Wakil Menlu Ball dengan Menlu Rusk447

2 Oktober 1965, pukul 10:45

Menlu ingin mengetahui bila ada sesuatu hal yang istimewa pagi ini tentang situasi Indonesia. Ball menyebutkan telcon semalaman,448 yang mana Menlu katakan bahwa dia telah melihat. Ball mengatakan bahwa situasi masih sa­ngat samar-samar, namun ada indikasi tertentu bahwa AD berada di bawah Jende­ral Suharto449 dan, dari sudut pandang tersebut, kelihatannya tidak terlalu jelek. Ball mengatakan bahwa PKI memang menjajarkan dirinya dengan pihak Untung yang kelihatannya menjadi pihak yang kalah. Menlu mengatakan bahwa ini nanti dapat menghasilkan keuntungan pada hari tersebut. Ball terkejut bahwa tidak ada apa-apa dari Sukarno. Menlu mengatakan bahwa dia mungkin sudah meninggal atau sedang sakit yang serius.

[Mulai pada baris ini tercantum diskusi tidak berkaitan dengan Indonesia.]


146.         Memorandum dari Direktur Wilayah Timur Jauh
                      (Blouin) untuk Asisten Menteri Pertahanan
               Urusan Keamanan Internasional (McNaughton)450

1-246491/65                                          Washington, 4 Oktober 1965

Subyek : Situasi di Indonesia

Situasi di Indonesia penuh gejolak, dan Presiden Sukarno kelihatannya sedang membuat usaha besar untuk menjaga persatuan nasional berhadapan dengan antagonisme yang berkembang antara AD dan kelompok-kelompok yang mendukung Gerakan 30 September. Mayat-mayat dari perwira militer senior yang ditembak pada tanggal 30 September yang berusaha melakukan kudeta telah ditemukan. Ada laporan “brutalisasi” dari mayat-mayat mereka, dan AD membesar-besarkan insiden-insiden ini untuk membangun dukungan publik ke posisinya. Sukarno, bagaimanapun, telah menunjukkan bahwa dia tidak siap untuk bergerak melawan PKI, Angkatan Udara, Subandrio, atau elemen-elemen yang lain yang mungkin berada di dalam perebutan kekuasaan 30 September. Sebuah laporan menunjukkan bahwa Sukarno berada di tangan AU sampai hari Minggu dan tidak tahu situasi sebenarnya. Sebuah laporan lainnya menyatakan bahwa dia sekarang sepenuhnya sadar apa yang terjadi dan siapa yang telah melakukan kejahatan. AD telah melarang surat kabar PKI namun tidak membuat gerakan apapun terhadap kantor pusat PKI. Jenderal Suharto, yang nampaknya memiliki kontrol kuat situasi atas militer di dan sekitar Jakarta, lalu di radio hari ini dengan sebuah pidato yang kuat mengumumkan tentang peranan AU dalam plot tersebut dan terus membuat langkah besar di dalam membangun dukungan publik bagi AD dengan mengambarkan tindakan brutal terhadap jenderal-jenderal yang berada pada pucuk pimpinan. Ini merupakan indikasi pertama yang kita punyai bahwa AD mungkin bersedia untuk membuat isu me­ngenai kebijakan Sukarno menyembunyikan peristiwa-peristiwa beberapa hari yang lalu.

Evakuasi Warga AS

Belum ada pemberangkatan apa-apa atas tanggungan AS dari Jakarta de­ngan pesawat komersial, meskipun Kedubes menunjukkan bahwa evakuasi mung­kin akan dimulai hari ini. Seorang pejabat Indonesia (Jenderal Rubiono) mengatakan kepada Kedubes akan tidak bijaksana mengevakuasi warga AS pada saat ini karena itu menunjukkan kurangnya keyakinan di dalam kemampuan AS me­ngendalikan situasi. Di sisi yang lain ada laporan-laporan bahwa Kolonel Untung berada di Jawa Tengah mengorganisir beberapa batalyon bagi kemung­kinan aksi berikutnya melawan AD dan bahwa Pemimpin PKI Aidit sedang bersembunyi. Siangnya, Gugus Tugas 77 dan 76 berada di dua posisi sekitar 320 mil jauhnya, dengan Gugus Tugas 76 di sekitar 5 derajat lintang utara. Sore ini Gugus Tugas 76 diperintahkan untuk menyisir utara dan “berada” di 8 derajat lintang utara, mendekati posisi yang sekarang diduduki oleh Gugus Tugas 77.451

Perkiraan Situasi

Ada beberapa penaksiran baru dari jalannya peristiwa baru-baru ini, semuanya didukung oleh informasi yang kadang-kadang bertolak belakang. Dua yang utama adalah:
(1) Sukarno tahu semua yang terjadi dan sedikit berbohong sampai dia dapat melihat siapa yang akan muncul di puncak (agaknya dia mengharapkan kudeta Untung-Subandrio-Dani akan sukses dan komando tinggi AD tidak akan lagi menjadi sebuah ancaman bagi kebijakan pro-Pekingnya).
(2) Sukarno tertipu mempercayai bahwa kudeta Untung adalah untuk menyelamatkannya dari sebuah kudeta yang disponsori AS oleh AD dan bahwa dia sekarang mulai percaya bahwa AU, PKI terlibat di dalam suatu plot menyingkirkan satu-satunya lawan mereka, AD.
Bila seseorang berpendapat bahwa perkiraan (1) di atas adalah benar, itu berarti bahwa Sukarno akan melakukan apa saja yang mungkin untuk mencegah AD menghancurkan AU dan PKI dan bahwa dia akan meneruskan kebijakan sebelumnya berhubungan dekat dengan Peking dan dengan PKI, keuntungan ini bagi kita. Dia telah membuat beberapa upaya memainkan insiden tersebut semata-mata sebagai percekcokan antar kelompok. Bila kita berpendapat bahwa perkiraan (2) adalah benar, maka itu berarti bahwa AD akan diberikan lebih banyak otoritas dan bahwa orang-orang seperti Subandrio, Dani dan Untung didepak. Namun, Sukarno mungkin takut bahwa bila dia membiarkan AD bergerak terlalu cepat melawan Gerakan 30 September, dan lebih khususnya melawan PKI, perang saudara akan berkembang dan merobek-robek negeri – membiarkan pulau-pulau di luar terbuka bagi penetrasi asing dan mungkin pemerintahan-pemerintahan independen. Dengan bergerak perlahan-lahan dan membuat suatu pertunjukan persatuan nasional, dia mungkin mampu untuk mencegah disintegrasi dari Federasi dan masih berhati-hati terhadap elemen-elemen yang ingin mendongkel pemerintah.
Saya cenderung berpikir bahwa Sukarno sadar, setidak-tidaknya setengahnya, dari apa yang sedang terjadi dari awal dan bahwa dia sekarang berusaha memasang wajah terbaik pada pekerjaan yang telah rusak, berharap untuk menjaga keutuhan prestisenya. Persoalan besarnya adalah apakah AD, telah menunjukkan kekuatan dan persatuannya di dalam menghadapi suatu usaha untuk menghancurkan pengaruhnya, akan mengijinkan Sukarno melakukan pengendalian yang ia miliki sebelumnya. Di dalam peristiwa apapun, citra Sukarno telah ternoda.
Dua hari kemudian akan bercerita banyak. Bila AD mengubah Perayaan Hari ABRI (5 Oktober) menjadi sebuah prosesi pemakaman besar bagi para pemimpinnya yang gugur, momentum tersebut dapat menghasilkan AD berada di dalam posisi komando di samping Sukarno. Bagaimanapun, kita tidak meremehkan kekuatan Sukarno untuk memanipulasi situasi dengan cara apa­pun yang dia sukai, untuk membuat situasi lebih baik atau lebih buruk. Tidak ada kemungkinan bagi orang Indonesia lainnya hari ini yang dapat mempertahankan federasi bersama-sama, dan AD mungkin memandang faktor ini le­bih penting ketimbang membalas dendam kepada AU dan PKI.

F.J. Blouin452
Laksamana Muda, AL-AS,
Direktur, Wilayah Timur Jauh





____________________

441.  Sumber: Johnson Library, National Security File, Country File, Indonesia, Vol. V. Memos, 10/65-11/65. Rahasia. Ada sebuah indikasi mengenai memorandum bahwa Pre­siden telah membacanya.
442.  Di dalam Tosec 34 kepada USUN, 1 Oktober, State Department mengirimkan sebuah memorandum, aslinya disiapkan oleh Underhill untuk William Bundy, untuk Rusk dan Goldberg kedua­nya ­orang yang bekerja untuk PBB. Memorandum mencatat bahwa Gerakan 30 September telah direncanakan oleh Dewan Revolusi dipimpin oleh Untung yang memiliki “latar belakang polisi militer dan dilatih di AS,” meskipun dia tidak dikenal oleh Kedubes. Underhill meng­anggap bahwa jalan Dewan Revolusi jelas mengabaikan Sukarno “mengandaikan dia sudah mening­gal atau benar-benar berhalangan tetap,” tercatat bahwa sebagai seorang anggota senior Pengawal Presiden, Untung berada pada sebuah posisi yang ideal untuk mengetahui bahwa Sukarno mendadak sakit parah. Underhill merangkum proklamasi yang dikeluarkan oleh Untung, dan mempertimbangkan 4 indikator tentatif yang mendukung melawan 3 yang tidak mendukung. (National Archives and Records Administration, RG 59, Central Files 2964-66, POL 23-9 INDON)
443.  Sumber: Johnson Library, Ball Papers, Telephone Conversations, Indonesia (4/12/64-11/10/65). Tidak ada keterangan klasifikasi.
444.  Ball juga memanggil Rusk pada pukul 10:00, McGeorge Bundy pada pukul 10:35, dan Helms pada pukul 11:35. Di dalam percakapan dengan Rusk dan MecGeorge Bundy, Ball menegaskan keprihatinannya seperti yang dinyatakan kepada McNamara, namun dengan McGeorge Bundy Ball mencatat bahwa ada laporan FBI bahwa AD Indonesia telah mengambil kembali stasiun Radio Jakarta. Ball menanyakan kepada Helms “jika kita berada di dalam posisi di mana kita dapat secara kategoris membantah keterlibatan operasi CIA ini di dalam situasi Indonesia.” Helms menjawab, “ya; bahwa dia telah berhubungan dengan Rayborn (Raborn) melalui telepon dan mendapatkan ijinnya untuk mengidentifikasi dirinya dengan Helms di dalam membantah nya sehingga mereka menjadi barisan orang-orang yang dicurigai dengan kuat.” Helms me­nyatakan, “mereka benar-benar tak ada hubungannya dengan itu. (satu baris dari teks sumber tidak dideklasifikasikan).” Ball memanggil Rusk kembali pada pukul 15:15 untuk memberitahukannya bahwa ada sebuah kontra kudeta yang dipimpin oleh Nasution “yang ber­arti mengembalikan Sukarno dengan beberapa cara.” (Ibid.)
445.  Sumber: Johnson Library, Ball Papers, Telephone Conversations, Indonesia, (4/12/64-11/10/65). Tidak ada keterangan klasifikasi.
446.  4 Oktober.
447.  Sumber: Johnson Library, Ball Papers, Telephone Conversations, Indonesia. (4/12/64-11/10/65). Tidak ada keterangan klasifikasi. Ball berada di Washington, Rusk berada di New York.
448.  Di dalam telekonferensi ini, 2 Oktober, Ball bertanya kepada Kedubes empat pertanyaan: Bagaimana situasi baru-baru ini, siapa yang berkuasa, apa status Sukarno dan jika tak dike­tahui, apa perkiraan Kedubes, dan bagaimana situasi dengan PKI? Kedubes merespon bahwa Jakarta relatif tenang dengan kekuatan yang loyal kepada Untung tidak lagi menjadi sebuah ancaman militer yang besar. Suharto yang berkuasa, status Sukarno tidak diketahui, namun dia tidak mendukung AD. Dia juga kemungkinan meninggal, sekarat, di dalam perawatan khusus, menunggu debu mengendap, atau dia mendalangi keseluruhan peristiwa untuk mendiskreditkan AD (sangat tidak mungkin). PKI tidak aktif namun masih bersiap-siap untuk memerangi represi militer. Green tidak berpikir evakuasi orang-orang AS diperlukan dan bahkan kontra produktif. (National Archives and Records Administration, RG 59, Central Files 1964-66, POL 23-9 INDON)
449.  CIA menyiapkan sebuah memorandum intelijen tentang latar belakang Suharto pada tanggal 2 Oktober. (Johnson Library, National Security File, Country File, Indonesia, Vol, V, Memos 10/65-11/65)
450.  Sumber: Washington National Record Center, RG 330, OASD/ISA  Files: FRC 70 A 3717, Indonesia, 000.1-291.2. Rahasia. Draft dibuat oleh D.E. Nuechterlein (OASD/ISA/FER).
451.  Keputusan untuk posisi Angkatan Laut ini untuk kemungkinan evakuasi darurat warga AS dari Indonesia merupakan pokok bahasan telepon berganda antara Ball dan McNamara, McGeorge Bundy, dan Rusk pada tanggal 3 dan 4 Oktober. Memorandum dari percakapan telepon ini ada di Johnson Library, Ball Papers, Telephone Conversations, Indonesia, (4/12/64-11/10/65).
452.         Dicetak dari sebuah salinan dan tercantum tanda tangan yang bersangkutan ini.
Subowo bin Sukaris
hasta mitra Updated at: 11:13 AM