Misteri Pamuksan Sri Aji Joyoboyo

Misteri Pamuksan Sri Aji Joyoboyo


Wilayah desa Menang pada abad keduabelas Masehi merupakan hutan belantara yang lebat. Sebuah sungai mengalir di wilayah itu. Seiring perjalanan waktu, maka sungai itu lenyap karena wilayah itu berubah menjadi wilayah pertanian, kini yang tersisa ialah sepotong sendang "candi" berada di arah selatan sejauh 1500 meter dari pamuksan Sri Aji Joyoboyo. Sendang "candi" merupakan oase di tengah lautan wilayah pertanian yang berupa sawah-sawah penduduk yang letaknya 5 kilometer di timur laut kota Kediri. 
      Jika situs pamuksan Sri Aji Joyoboyo di kecamatan Pagu, Kab. Kediri pada awalnya hanya gundukan tanah, maka sendang "candi" usianya jauh lebih tua daripada pamuksan itu sendiri. Demikian pula sendang yang lainnya di arah utara berbentuk sumur yang disebut sendang "tirtakamandanu", yang dianggap bagian langsung dari pamuksan Sri Aji Joyoboyo. 
      Sendang yang disebut belakangan ini dipergunakan untuk mensucikan diri sebelum memasuki wilayah inti pamuksan Joyoboyo, yang pada puncaknya terdapat semacam silinder berwarna hitam berlubang di tengahnya. Silinder hitam ini perlambang lorong waktu menuju masa depan, bisa juga semacam teropong yang dipasangi kaca gaib untuk melihat kejadian di masa depan. 
      Sri Aji Joyoboyo dianggap seorang raja sekaligus ahli nujum yang ampuh yang belum tertandingi selama berabad-abad.
      Di samping situs yang pada puncaknya terdapat silinder hitam itu, pada sisi sebelah kanan terdapat sebuah arca batu berbentuk mahkota, yang pada sisi sebelah samping menyamping terdapat motif bunga Wijayakusuma dan juga buta Locaya. Bunga Wijayakusuma memiliki mukjijat yakni sebagai lambang keabadian kehidupan. Seluruh bangunan yang terdapat di tempat moksanya prabu Joyoboyo ini merupakan benda-benda yang aslinya berasal dari lokasi lainnya. Jadi awalnya tempat tersebut masih "suwung".
      Sebagai situs alam yang ditumbuhi pohon raksasa yang berusia puluhan atau ratusan tahun, maka sendang "candi" yang di dalamnya terdapat air berwarna hijau itu lebih menyolok disaksikan dari kejauhan tatkala memasuki kawasan petilasan atau lebih tepatnya pamuksan raja Kediri yang hidup pada pertengahan abad keduabelas masehi itu. Kumpulan pohon raksasa membentuk semacam bukit yang menjulang di tengah alam persawahan yang sepanjang mata memandang merupakan dataran rendah yang hampir tanpa diselingi perbukitan.
      Beberapa kilometer dari wilayah pamuksan itu terdapat juga sebuah pura yang namanya mirip dengan seorang empu yang berasal dari jaman Erlangga, yakni mpu Bharada, beliaulah yang membelah kerajaan Kahuripan menjadi dua, Daha dan Jenggala. Konon mpu Bharada membuat batas kedua kerajaan itu dengan guci berisi air yang tatkala disiramkan ke tanah tiba-tiba berubah menjadi sungai besar yang memisahkan kedua kerajaan tersebut. Baginda Erlangga terpaksa memisahkan kerajaan Kahuripan menjadi dua karena putri mahkota yang seharusnya menggantikan beliau lebih memilih menjadi pertapa di sebuah gunung tidak jauh dari wilayah tersebut, yakni gunung Klotok.
      Kerajaan Kahuripan yang dipisahkan oleh mpu Bharada yang kini dibuatkan sebuah pura baginya tidak jauh dari pamuksan Joyoboyo itu, selanjutnya dua negeri itu digabungkan kembali menjadi satu oleh perkawinan kedua kerajaan yang pada akhirnya melahirkan pewaris takhta yang baru yakni Sri Aji Joyoboyo. 
      Kelebihan dan kemampuan raja Kediri ini yakni mampu meramalkan kejadian di masa depan itulah yang membuat situs pamuksan itu hingga hari ini dianggap juga serta dipercaya membawa berkah dan mampu mengubah nasib bagi barang siapa yang sengaja datang ke tempat itu. Tempat pamuksan Joyoboyo itu sering dikunjungi terutama pada hari dan bulan tertentu demi keperluan individu yang berkaitan dengan kehidupan atau nasibnya di kelak masa depan.
*****
by Subowo bin sukaris

Subowo bin Sukaris
hasta mitra Updated at: 10:39 PM