Ramalan Joyoboyo tentang wanita





Ramalan Joyoboyo tentang Wanita

mbah subowo bin sukaris

Wong wadon nganggo pakeyan lanang
Wong wadon ilang kawirangane
Akeh wong wadon ora setya marang bojone
Akeh ibu padha ngedol anake
Akeh wong wadon ngedol awake
Wong wadon nunggang jaran
oleh Sri Aji Joyoboyo, abad xii M. (1100-an)

Syair Joyoboyo tersebut memang kenyataannya hari ini adalah terbukti benar-benar sedang terjadi di Nusantara. "Kelak di masa depan kaum perempuan memakai busana kaum pria, pada saat itulah kaum hawa mulai kehilangan rasa takut dan juga rasa malu sebagai perempuan yang dimuliakan dan dihormati keluarganya. Dan juga di masa depan itu kaum perempuan tidak lagi setia sehidup semati dalam melayari bahtera rumah tangga laksana Dewi Shinta terhadap Rama. Pada kondisi demikian itu kelak juga akan terjadi para ibu ada yang tega menjual darah dagingnya sendiri dengan alasan kemiskinan atau demi mendapatkan uang. Dan demi uang yang itu juga banyak kaum wanita yang cantik-jelita mau menjual tubuhnya demi mendapatkan kemewahan hidup tanpa mau bersusah payah bekerja. Dan di jaman yang demikian itu sudah bukan hal aneh kaum wanita menyetir kendaraan bermotor di jalan raya."
      Syair di atas itulah buah karya nujum dari abad keduabelas masehi (1100-an), Sri Aji Joyoboyo, semuanya meramalkan keburukan yang akan melanda kaum perempuan di kelak kemudian hari. Akan tetapi ramalan demikian bukan berarti semua kaum hawa di permukaan bumi adalah buruk. Tidak! Tentu saja wanita yang mulia dan terhormat lebih banyak jumlahnya daripada yang buruk, karena jasa kaum perempuanlah manusia dapat terus eksis di planet bumi.
      Rosa Luxemburg, pejuang kiri berasal dari Polandia, dan Joan of Arc panglima perang dari Prancis, dan tentu saja Raden Ajeng Kartini pelopor kemajuan wanita di Nusantara yang gemar dan mampu menulis untuk mengungkapkan pikirannya yang maju dan modern dalam melihat bangsanya yang tertinggal dalam pendidikan, khususnya kaum perempuan bangsanya. Kepeloporan Kartini dalam menyejajarkan wanita dan pria dengan alasan kemampuan wanita tidak kalah dari kaum Adam dalam menyerap ilmu pengetahuan itu pada akhirnya merupakan perjuangan emansipasi atau persamaan derajat antar gender berhasil gemilang di Nusantara.
      Organisasi wanita yang cukup handal dan progresif Revolusioner paska perang kemerdekaan ialah Gerwani yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia. Akan tetapi malapetaka yang teramat dahsyat organisasi wanita di masa Orde Lama itu dihancurkan dengan fitnah keji tiada tara. Gerwanilah yang menyiksa dengan kejam para Jenderal Angkatan Darat, yang di kemudian hari ternyata perbuatan itu tidak pernah dilakukan oleh organisasi wanita tersebut. "Nasi sudah menjadi tinja," kata Pramoedya. Maka tidak pelak lagi semua pimpinan Gerwani ditangkap dan disiksa dengan cara tidak bermoral, mulai dari pelecehan ringan hingga yang berat, dan itu dilakukan oleh organisasi resmi pemerintah yang konstitusional dan terhormat. Memang dimaklumi terjadi kekejian itu dalam suasana antikomunis yang luarbiasa pada waktu itu. Yang patut disayangkan ialah kaum perempuan Nusantara tidak berani lagi membikin organisasi progresif revolusioner hingga saat ini. Memang telah lahir pemimpin berkelas akan tetapi pada akhirnya melemah dengan sendirinya karena kodrat dan kebutuhan hidup serta lingkungan yang terlanjur berbeda dengan masa lalu.
      Konon sejak masa silam, mulai pada abad kesebelas tatkala Sri Aji Joyoboyo memerintah Kediri para leluhur sudah mengajarkan sebagai berikut, "Ingatlah wahai para raja atau pemimpin Nusantara, jika kalian mengambil wanita Tiongkok atau ras mongolid lainnya, yang dijadikan oleh kalian sebagai istri atau pun sekadar selir atau simpanan. Maka kedudukan dalam pangkat dan jabatan akan menjadi goyah, hingga jatuh semua kekuasaan yang dimiliki."
      Sedikitnya patut dicatat peristiwa yang berhubungan dengan di atas yakni antaranya Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit mengawini putri Campa yang berdarah Tiongkok dan kemudian Majapahit meluncur jatuh menuju kehancuran.
      Bung Karno atau Paduka Yang Mulia Presiden Soekarno, Pemimpin Besar Revolusi, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia juga memperistri seorang perempuan berdarah mongoloid dari negeri Sakura bernama baru Ratna Sari Dewi. Sejarah mencatat bahwa sejak pernikahan itu Bung Karno meluncur menuju kejatuhannya akibat digulingkan oleh kekuatan dalam negeri yang bersekongkol dengan asing. Dalam masa penahanannya di wisma Yaso, milik Ratna Sari Dewi, yang dikemudian hari dirampas oleh Angkatan Darat, Bung Karno walau sakit parah pada ginjalnya sehingga wajib cuci darah tidak mendapatkan perawatan semestinya hingga ajal menjemputnya pada 1970. Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Roji'un....

****
related post
Subowo bin Sukaris
hasta mitra Updated at: 10:24 AM