Ramalan Joyoboyo, "Hancurnya Bhinneka Tunggal Ika!"

Ramalan Joyoboyo, "Hancurnya Bhinneka Tunggal Ika!"

mbah subowo bin sukaris

Sejak Majapahit, persatuan atau kesatuan dalam perbedaan (Bhinneka Tunggal Ika, Unity in Diversity) yang ditujukan bagi kerukunan umat beragama antara Syiwa dan Buddha dicetuskan oleh pujangga masyhur Mpu Tantular di masa maraknya Hayam Wuruk  pada pertengahan abad keempat belas. Puncak kejayaan Majapahit di masa itu dapat terjadi setelah takluknya para pembangkang Ronggolawe, Sora, dan lainnya.
        Suasana kerajaan begitu damai, dua agama sekaligus menjadi agama Negara Majapahit yakni Syiwa dan Buddha. Pejabat tinggi atau pendeta yang termulia di seluruh kerajaan duduk sama derajat dalam melaksanakan segala kehidupan bernegara mulai pendidikan agama hingga soal pengangkatan pegawai dari masing-masing agama. Syiwa dan Buddha duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi secara fungsional maupun struktural dalam koridor Negara Majapahit. Bahkan dalam upacara kenegaraan selalu diikutsertakan di antara kedua agama.
     Sebaliknya yang terjadi di masa Orde Baru yang juga ikut-ikutan menggunakan Bhinneka Tunggal Ika sebagai lambang negara yang dililitkan dan dicengkeram oleh burung Garuda. Di masa Orde Baru terdapat lima agama yang diakui oleh negara. Akan tetapi cuma satu agama saja yang selalu mendapatkan porsi lebih bahkan memonopoli penyelenggaraan upacara kenegaraan yakni agama "Mohammedan". Bahkan agama yang dijadikan anak emas ini diberi kekuasaan yang mirip dengan negara dalam negara. Di seluruh dunia yang pararel dengan masa Orde Baru berlangsung tidak terdapat satu negara pun yang memiliki departemen agama. 
        Persatuan dan kesatuan yang didengungkan oleh rejim Orde Baru memang kelewatan batas. Sampai-sampai berpikir pun harus seragam terutama dalam bidang politik. Barang siapa berbeda segi pandangan politik dengan penguasa maka akan dapat hadiah "antek PKI", "GPK", "OTB", dan lain-lainnya. Itu hanya sekadar contoh kecil saja untuk melanggengkan kekuasaan rejim Orde Baru. Tumbangnya atau lengsernya penguasa tertinggi Orde Baru memang tidak mengubah watak kekuasaan aparat di bawahnya yang terus memegang kekuasaan hingga hari ini. Yakni kendaraan politik Orde Baru sampai hari ini masih tetap eksis dan terus berusaha mengembalikan jaman keemasan masa lalu. Di sisi lain rakyat yang merasa tertekan selama puluhan tahun merasakan udara bebas bersuara lain dan berbuat lain. Bahkan bisa memilih sendiri pemimpinnya mulai dari lurah hingga presiden, walaupun dalam sistem pemilihan umum tersebut belumlah sempurna.
        Untuk menjaga kelestarian dan persatuan negeri jajahan seberang lautan Hindia-Belanda, salah satu yang dipelajari oleh pemerintah Hindia Belanda untuk membikin Pribumi tetap dapat diatur dan dikuasai kehidupannya ialah bagaimana mengendalikan "amuk" sendiri-sendiri dan "amuk massa". Para sarjana Belanda mengambil kesimpulan bahwa energi berlebih yang dapat muncul tatkala sedang amuk atau kesurupan adalah sisa-sisa kekuatan primitif dari kegelapan. Untuk itulah dalam membentuk pasukan militer pribumi dipilihlah orang-orang yang kalem untuk menghadapi pribumi lain yang punya kekuatan amuk. Dan sukseslah Belanda dengan cara demikian. Karena orang-orang kalem dari daerah tertentu di Jawa itu dapat tetap tenang menghadapi musuh yang begitu ganas. Sehingga mereka menguasai keadaan dan posisinya dengan baik.
       Amuk massa yang tercetus menjadi pemberontakan rakyat Aceh Merdeka, Papua Merdeka, dan lainnya yang ditambahi dengan terorisme dan perkelahian umat beragama "dapat diduga, bisa tidak bisa, langsung maupun tidak langsung" adalah akibat dari sistem Orde Baru yang otoriter dan kejam terhadap lawan politiknya, maupun siapa saja yang bersuara lain dari simfoni yang digelar Orde Baru. Buah perbuatan mereka yang buruk cara menanamnya kini mengalami panen besar. Segala keributan pun muncul tanpa dapat diselesaikan dengan cara apapun. Dan semakin meriah ditingkahi dengan bencana alam maupun bencana akibat ulah segelintir orang. Dan ujung-ujungnya akan mengancam Bhinneka Tunggal Ika yang itu juga. 
      Ramalan Joyoboyo mengenai kehancuran persatuan dan kesatuan keluarga, sahabat, yang akan berimbas pada negara Nusantara telah ditulis dalam bait sebagai berikut pada abad kesebelas masehi.

Akeh bapa lali anak
Akeh anak wani nglawan ibu
Nantang bapa
Sedulur padha cidra
Kulawarga padha curiga
Kanca dadi mungsuh
Akeh manungsa lali asale

Para bapak menelantarkan anak, anak-anak berani melawan ibunya sendiri dan juga berani menantang sang bapaknya sendiri. Sanak-saudara saling bermusuhan, sesama anggota masyarakat satu sama lain saling curiga mencurigai. Kawan menjadi musuh dalam selimut. Manusia sudah banyak yang melupakan asal-usulnya masing-masing.

****
related post