Titah Sabdo Palon, "Masa paling sengsara di Nusantara"




Titah Sabdo Palon, "Masa paling sengsara di Nusantara"


Begitu orde reformasi dapat giliran menggantikan orde baru tatkala itulah rakyat di gunung-gunung seluruh Nusantara mulai ngamuk menebang habis pohon di hutan untuk dijadikan ladang jagung, singkong dan lainnya tergantung pada tingkat kesuburan tanah di areal hutan setempat. Di Jawa Timur sekitar petilasan keraton Sri Aji Joyoboyo yakni bukit Klotok dan pegunungan Wilis keadaan lebih parah lagi. Bukit klotok langsung gundul dan hutan di kaki dan punggung gunung Wilis hanya dalam beberapa tahun saja sudah berubah menjadi ladang jagung. Untuk membuka ladang jagung tersebut pohon-pohon langka yang hidup di bukit Klotok dan gunung Wilis ditebang habis, dan akibatnya tanah pegunungan melalui perantaraan akar-akar pohon tua yang berusia ratusan tahun tidak mampu lagi menyerap air hujan. Dan tidak dalam jangka panjang telah dapat mendatangkan banjir besar yang melanda wilayah dataran rendah wilayah Banyakan, kabupaten Kediri yang berada dalam radius beberapa kilometer dari gunung Wilis maupun bukit Klotok.
    Demikian pula keadaan di daerah Lodoyo, Blitar Selatan hutan yang sudah kurus menjadi gundul dan tampak dari kejauhan sebagai bukit gersang. Contoh kecil di atas bisa dibuatkan daftar panjang jika mencakup seluruh wilayah hutan di Nusantara.
    "Siapa cepat membabat hutan, maka dialah yang menjadi pemilik ladang baru." demikian ucapan penduduk setempat yang serentak merasa bebas menjarah hutan bersama lengsernya bapak pembangunan Jenderal Besar Soeharto yang sangat ditakuti oleh rakyat hingga jauh ke pelosok gunung-gunung, sehingga amanlah hutan untuk sementara waktu selama orde baru berkuasa.
    Aparat kehutanan setempat menciut nyalinya menghadapi kegarangan penduduk yang secara serentak bergerak menjarah hutan, mereka menyelamatkan diri melindungi ekornya sendiri.
    Keadaan alam di pojok Jawa yang dapat menggambarkan Nusantara secara keseluruhan tersebut sudah menjadi Titah Sabdo Palon pada abad kelimabelas, yang berbunyi sebagai berikut:

Sanget-sangeting sangsara
Kang tuwuh ing tanah Jawi
Sinengkalan tahunira
Lawon Sapta Ngesthi Aji
Upami nyabarang kali
Prapteng tengah-tengahipun
Kaline banjir bandhang
Jeronne ngelebna jalmi
Katahah sirna manungsa prapteng pralaya.

Kelak akan terjadi masa paling sengsara di Jawa/Nusantara pada tahun "lawon sapta ngesti aji". Pada waktu itu seseorang yang hendak menyeberang sungai tatkala tiba di tengah-tengah sungai tiba-tiba arus sungai mendadak berubah sangat deras akibat banjir bandang, maka sungai itu pun meluap ke wilayah sekitarnya. Banjir besar (banjir bandang) itu akan terus terjadi dan memakan/menelan korban yang berjatuhan di mana-mana.
    Gunung Klotok yang masyhur dengan Goa Selomangleng dan dekat keraton Kediri di masa lampau disebut Gunung Emas Kumambang menjadi sumber penghidupan bagi rakyat setempat yang berada di sekitar wilayah keraton Sri Aji Joyoboyo pada abad kesebelas. Semua tersedia melimpah di bukit Emas Kumambang, kayu bakar, hewan perburuan, tanaman obat-obatan, pakan ternak, dan lainnya. Di masa kolonialis Belanda bukit Emas Kumambang berubah nama diganti oleh penduduk menjadi bukit Klotok, bukit yang penuh kolo atau hewan berupa hama dan serangga.
    Tahun lawon sapta ngesthi aji masih menghadang di masa depan, kapankah itu? Masa itu akan datang bersamaan rusaknya ekosistem yang paling menyengsarakan rakyat Nusantara ialah kurangnya sumber air bersih, dan ini berarti terjadinya di daerah gersang. Banjir yang terus-menerus akan mengikis lapisan tanah yang subur di daerah subur dan selanjutnya menjadi tanah gersang tak menghasilkan apapun. Dan pada gilirannya lenyaplah sumber atau mata air bersih. Begitulah lingkaran setan yang bakal terjadi tanpa dapat dicegah atau diatasi oleh negara sekalipun!

****
related post