Misteri Laksamana Nala empu kapal perang Majapahit

Misteri Laksamana Nala empu kapal perang Majapahit
3

Mbah S. Sukaris
"Gajah Mada sudah wafat tigapuluh sembilan tahun yang lalu, Ananda. Hayam Wuruk sejak itu memegang supremasi militer Majapahit bersama Mpu Nala." Pagi itu Begawan Ra Vadia melanjutkan wejangannya di hadapan pendengarnya yang setia, Dewi Anggia.
      "Jadi sepeninggal sang mahapatih, semua kendali berpindah ke tangan Hyang Smodra Wisesa Nala. Seorang pelaut tulen yang menghabiskan sebagian besar waktunya di perairan seputar Nusantara. Ia mengunjungi pulau demi pulau dan membuat catatan dalam rontal mengenai ciri-ciri alam dan tanda-tanda khusus di sana."
      Dewi Anggia menyimak Ayahanda serius tampak mulai tertarik dengan Laksamana Nala orang hebat kedua Majapahit setelah mahapatih Gajah Mada.
      Begawan itu melanjutkan, "Pada suatu hari tatkala tengah berlayar berputar-putar sepuluh hari sejak mancal dari pelabuhan pusat Majapahit, Mpu Nala menemukan sebuah pulau, ia bermaksud mendarat untuk mengunjunginya. Segera ia memerintahkan bersauh di tengah laut tak jauh dari pulau itu. Ombak di tempat itu tidak terlalu tinggi. Dengan sekoci sederhana Mpu Nala mendarat di pulau yang tidak terlalu subur, akan tetapi terdapat pohon-pohon yang besar dan tampaknya keras. Tanah di pulau itu berbatu-batu, dan sebuah gunung api cukup besar menjulang tinggi tepat di tengah pulau. Udara agak kering dan cenderung hangat."
      "Di mana itu, Ayahanda?" Dewi Anggia memecah kesunyian, karena sang Begawan agak ragu untuk meneruskan ceritanya.
      "Mpu Nala tidak pernah menunjukkan tempat itu kepada siapapun, bahkan kepada Mahapatih Gajah Mada maupun prabu Hayam Wuruk, ia hanya mengajak tukang-tukang kapal terbaik Majapahit berlayar ke tempat itu kembali tanpa diiringi awak sebelumnya tatkala ia pertama kali mendarat. Mereka semua sepakat merahasiakan tempat itu, karena terdapat sejenis pohon yang berdiameter besar dan kayu itu tahan air garam."
      "Jadi kapal-kapal yang bersandar di Gresik itu semua terbuat dari pohon "itu", Ayahanda?"
      "Tidak semua kapal, Ananda. Hanya kapal berukuran besar yang dibuat secara khusus menggunakan jenis pohon itu, antaranya kapal bendera atau kapal pimpinan tertinggi gugusan armada Majapahit." Begawan Vadia mencoba keras mengingat kembali masa silam kepada sang putri secara tepat lokasi pulau ditemukannya pohon itu.
      "Apakah tempat itu sangat terpencil, Ayahanda?"
      "Tidak, justru sebaliknya tempat itu di tengah lalulintas ramai pelayaran laut." Begawan itu tampaknya telah pulih kembali ingatannya dan mengetahui persis lokasi pulau yang sangat dirahasiakan Mpu Nala.
      "Ayahanda sepertinya serba tahu, bukankah tadi ayahanda mengatakan cuma kalangan terbatas yang tahu rahasia itu?" Dewi Anggia menduga ayahandanya seorang ahli pembuat kapal.
      Begawan Vadia cuma tersenyum kemudian menjelaskan, "Dari keterangan salah seorang pembuat kapal, yang ikut Laksamana Majapahit itu cuma disebutkan ciri-ciri keadaan pulau yang sebagian wilayahnya merupakan gunung berapi. Setiap kali perjalanan Mpu Nala mengambil alih kemudi kapal, dan tampaknya ia berputar-putar dalam perjalanan menuju tempat itu. Para awak setelah beberapa hari pelayaran tatkala terbangun di pagi hari kapal sudah merapat ke pulau itu. Begitu pula jika hendak meninggalkan pulau, Mpu Nala mengambil alih kemudi dan menempuh perjalanan memutar pulau Jawa untuk dapat kembali ke pangkalan laut Majapahit di Pulau Bali. Di sana terdapat galangan besar untuk mengolah ataupun melanjutkan pembuatan kapal yang sudah setengah jadi itu."
      "Ayahanda, siapa yang meneruskan dan menyelesaikan kapal itu?" Dewi Anggia kurang mengerti soal kapal, tapi ia tertarik dengan upaya Mpu Nala merahasiakan pulau misterius itu.
      "Para awak kapal itu rata-rata berasal dari Pulau Bali, mereka itu juga orang yang sama. Pengrajin kapal itu penduduk sekitar galangan itu berada tepatnya di selatan Pulau yang menghadap ke Laut Kidul."
      "Tidak ada orang dari Jawa, Ayahanda?"
      "Tentu saja ada, demi menjaga kerahasiaan pada akhirnya mereka secara sukarela tinggal berbaur dengan sesama arsitek kapal dari Bali."
      Dewi Anggia masih berusaha mengetahui di mana letak pulau misterius yang tumbuh pohon besar, kayunya ulet tapi ringan, dan tahan air garam. Begawan pujangga Vadia dapat membaca air muka putrinya, ia melanjutkan, "Pada suatu kali para awak kapal merasa heran, sudah lama mereka tidak lagi diajak sang Laksamana Nala belayar mengarungi samudera guna mengambil kayu istimewa itu."
Dewi Anggia memandang keluar pondok, pintu utama rumah mereka di pinggir pusat Majapahit terhembus angin kencang sepagi itu. Kicauan berbagai jenis burung menerobos masuk.
      Begawan itu memandang sejenak wajah putrinya, ia terbayang sang ibundanya yang telah wafat, wanita mulia yang mendampingi Begawan Vadia yang tatkala itu usianya hampir menginjak seabad itu berasal dari pedalaman. Pada awalnya ia seorang penyanyi di istana Majapahit dan tenar di kotaraja Majapahit yang membawakan hampir semua karya sang Begawan. Dengan wafatnya mahapatih Gajah Mada pada 1364, maka terjadi sedikit kelonggaran atas pelarangan karya Begawan, hanya dalam tempo sembilan tahun, kebebasan itu dapat dinikmati keluarga seniman itu, selanjutnya breidel babak kedua yang kembali diberlakukan Hayam Wuruk, telah memukul kehidupan sang Begawan. Dan yang paling sedih terkena sasaran, tidak boleh manggung lagi di istana. Pada akhirnya wafat tanpa didahului sakit atau keluhan apapun. Dewi Anggia baru berusia beberapa bulan tatkala ibunya wafat. Seorang kerabat sang begawan bersedia mengasuhnya dalam pondok sang begawan sampai gadis itu berusia lima tahun.
      "Pada waktu itu terjadi peristiwa di barat pulau Jawa sebuah gunung meletus dengah dahsyat. Para ahli pembuat kapal Majapahit itu menduga letusan itu ada hubungannya dengan dihentikannya pengambilan kayu bahan pembuatan kapal besar. Dan pulau misterius itu tentu sangat dekat atau bahkan memang di sanalah tempat tumbuhnya pohon raksasa yang langka itu."
      "Jadi benarkah begitu Ayahanda?"
      "Beberapa bulan kemudian sejak letusan itu Mpu Nala mengajak para awak pembuat kapal meninjau gunung yang telah menghentikan aktivitasnya. Tatkala sampai di pulau itu Mpu Nala tidak mengajak orang lain meninjau bekas letusan. Para awak masih ingat tatkala kembali menaiki kapal tampak kegalauan pada air muka Laksamana Hyang Smodra Wisesa Nala. Tak sepatah pun keluar dari mulutnya."
      Kali ini ia tidak mengambil alih kemudi akan tetapi memerintahkan jurumudi untuk mencari jalan pulang ke pangkalan laut Majapahit. Para awak kapal tidak pernah menceritakan apapun tentang kejadian tersebut. Mereka menyadari Majapahit tidak mungkin lagi membuat kapal besar.

****