Ramalan Joyoboyo bencana alam Nusantara

Ramalan Joyoboyo bencana alam Nusantara

mbah subowo bin sukaris

Perkembangan sejarah Jawa dan Nusantara di masa depan sudah diprediksi dalam bentuk syair ramalan yang mendahului jamannya oleh seorang nujum abad kesebelas, Joyoboyo.** Sejak dulu pulau Jawa yang bisa juga berarti Nusantara memiliki alam yang subur, melimpah bahan tambang di dalam perut bumi, penduduk yang melimpah pada suatu hari akan menghadapi bencana terus-menerus antara lain berupa banjir bandang, letusan gunung berapi. Penyebaran penduduk dari pulau Jawa ke wilayah Nusantara yang sangat pesat berlangsung sejak bangsa kulit putih berkuasa di Nusantara yang membutuhkan tenaga manusia untuk membuka daerah baru antara lain untuk perkebunan sawit, kopi, rempah-rempah. Juga sebagai tenaga administratif pemerintah kolonial maupun sebagai anggota pasukan militer asing.
    Bencana alam memang sesuatu yang lumrah bagi alam yang juga memiliki daya hidup dan terikat dengan hukum ilmiah maupun gaib. Alam jengah dengan segala macam ulah manusia yang berhasil mencapai puncak tertinggi dalam bidang ilmu dan teknologi sehingga memanfaatkan alam dengan efisien dan intensif, akan tetapi sayangnya hanya untuk memuaskan kepentingan manusia sendiri tanpa pernah menghormati sang alam.
    Masa depan yang digambarkan dengan kehidupan orang Jawa yang bekerja dan hidup berputar-putar saja dalam tampah. Tampah adalah wadah dari anyaman bambu berbentuk datar bulat berdiameter 66 cm. Tampah bisa digunakan untuk memisahkan beras dan kulit padi maupun padi dengan tangkai padi. Caranya dengan memutar wadah itu berlawanan arah jarum jam maupun sebaliknya. Jika berlawanan arah jarum jam gunanya untuk mengumpulkan benda yang lebih ringan tepat di tengah. Dan jika searah jarum jam gunanya untuk memisahkan benda yang ringan ke bagian pinggir tampah.
    Maka orang Jawa/Nusantara selalu bertebaran ke segala arah merantau dan dalam perantauan justru berdesak-desakan akibat terbatasnya ruang hidup. Akan tetapi suatu kali pada hari raya mereka kembali ke tanah leluhurnya. Dan begitulah seterusnya gerakan tersebut persis dengan beras atau padi yang sedang diinteri dalam tampah agar dapat terkumpul mana yang asli beras/pada dan mana yang benar dedak/kulit padi.
    Pada jaman orde baru penyeragaman berpikir sesuai definisi yang dipaksakan penguasa terjadi mulai dari anak sekolah dasar hingga para akademisi bergelar doktor. Tak seorang pun mendendangkan irama lain, para alim ulama, biksu, pendeta, dan pertapa atau paranormal pun sama saja tidak berani mengungkapkan "piwulang adi" atau ajaran atau ilmu yang sebenar-benarnya. Karena orde baru tidak segan-segan membunuh atau memenjarakan barang siapa pun yang mengusik keamanan dan ketertiban bertindak maupun berpikir berbeda dengan penguasa baik langsung maupun tidak langsung. Jumlah korban orde baru berlipat kali lipat jumlah korban penduduk setempat dalam perang Vietnam ditambah perang Korea.
    Saat ini masa pemerintahan SBY terjadi "banjir bandang ana ngendi-endi......" gunung meletus tanpa dapat diduga sebelumnya, bahkan tanpa petunjuk apapun dalam eksakta maupun dalam impian. Juga di jaman SBY para organisasi massa begitu membenci aliran-aliran kebathinan yang menjalani laku "pati geni" alias ngelmu dengan berbagai cara antara lain puasa berlebihan tanpa batas waktu. Ormas tersebut bertindak sesuai pesan sponsor, sang sponsor takut jatidirinya yang kelam terbongkar belangnya di masa orde baru "marga wedi kapiyak wadine sapa sira sing sayekti". Pemerintahan SBY bukan sumber sebab-akibat bencana alam sekarang ini akan tetapi orde baru lah dan semua yang masih menggendong watak kekuasaannya biang keladi semua ini (juga lumpur Lapindo) -- sesuai syair Joyoboyo tersebut.
    Para ilmuwan kolonial yang memboyong ke negerinya dan selanjutnya belajar dari kitab-kitab kuno warisan para leluhur Nusantara memang merumuskan bahwa kekalahan berabad bangsa Nusantara membikin orang Jawa menjalani laku siksa dan derita guna memperoleh kekuatan dan kesaktian. Sayang sekali syarat sejarah tidaklah selengkap dan sebebas sebelum kedatangan kaum kolonialis kulit putih, yaitu semasa Majapahit, Mataram, Demak, Kediri, Singosari, Sriwijaya, dan seterusnya. Sehingga segala ngelmu, derita, dan siksa yang dilakukan itu selalu membentur tembok tebal akibat beralihnya kitab-kitab kuno itu menjadi milik bangsa asing.


_____________________

**   polahe wong Jawa kaya gabah diinteri
       endi sing bener endi sing sejati
       para tapa padha ora wani
       padha wedi ngajarake piwulang adi
       salah-salah anemani pati
               banjir bandang ana ngendi-endi
               gunung njeblug tan anjarwani, tan angimpeni
              gehtinge kepathi-pati marang pandhita kang oleh pati geni
                marga wedi kapiyak wadine sapa sira sing sayekti 


*****
tulisan bersinggungan