Misteri Sumpah Palapa Gajah Mada hingga Pamalayu Krtanagara


Misteri Sumpah Pamalayu Krtanagara hingga Sumpah Palapa Gajah Mada
8


Begawan sekaligus pujangga Majapahit: Rakryan Vadia Andika, masih mengingat suasana "Pamalayu" Sri Krtanagara, demikian pula tatkala itu penduduk seantero Jawadwipa mendengar belaka semua itu. Sang begawan baru menginjak duabelas tahun. Dengung Pamalayu menggentarkan segenap pelosok Nusa Antara. Krtanagara tidak mengirimkan utusan diplomat kerajaan Singhasari ke luar Jawa, akan tetapi langsung mengirimkan prajurit laut berpendaran dan menjadi ancaman serius di Laut Jawa dan Selat Malaka. 
      Prajurit dari Jawadwipa yang tengah beraksi itu mencoba mengulangi sukses era Sri Jayabaya dalam mempersatukan Nusa Antara kembali. Hasilnya memang tidak segemilang sebelumnya tapi lumayan sukses. Cuma wilayah barat dapat bernaung di bawah Singhasari. 
      Penyatuan segenap Nusa Antara yang berarti tunduk pada kekuatan dari Jawa selalu menjadi impian para raja Jawa sejak wangsa Syailendra dari seberang barat pulau Jawa berhasil dan ikut campur dalam memerintah Mataram Hindu di Jawa bagian tengah.  
      Dalam upaya mempersatukan wilayah maka, "Mendahului menyerang lebih baik daripada diserang lebih dulu", merupakan kutukan yang mulai tumbuh sejak Erlangga menikmati atau merasai derita, "betapa tidak enaknya diserbu musuh" (Sriwijaya), tatkala itu Erlangga sedang mengikuti jamuan pesta kerajaan Medang yang diselenggarakan oleh prabu Darmawangsa. 
      Baginda Darmawangsa waktu menyerbu Sriwijaya itu belum ikut mengalami "kutukan" itu maka ia gagal menaklukkan Sriwijaya, dan selanjutnya yang disebut belakangan ini mengadakan pembalasan terhadap paman Erlangga tersebut, drama pesta kerajaan yang berubah jadi petaka itu berakhir dengan tewasnya sang paman atau Prabu Darmawangsa.
      Sejak peristiwa dramatis itu dan bertahun kemudian Erlangga berhasil melanjutkan wangsa Isyana dan bertakhta di Kahuripan maka, "Jawa akan selalu memenangkan pertempuran terhadap luar Jawa, jika balatentara Jawa menyerang lebih dahulu ke luar Jawa", merupakan kutukan abadi bagi negeri, penguasa serta pemimpin yang berusaha maupun dapat mempersatukan Nusa Antara. 
      Sang begawan Majapahit yang hidup semasa Krtanagara hingga saat ini, empat tahun sejak wafatnya Prabu Hayam Wuruk itu terdiam, sejenak memandang pendengarnya yang setia, Dewi Anggia.
      Satu-satunya putri begawan pujangga Majapahit itu Dewi Anggia kemudian bertanya, "Ayahanda bagaimana dengan "Palapa" Sang Gajah Mada?"
      "Sejak Erlangga membangun terusan Porong Sidoarjo dan menata ulang sepanjang aliran Sungai Brantas dalam upaya membangun infrastruktur militer bagi kapal perang  dari wilayah pedalaman. Dan sejak kapal perang Majapahit tidak lagi membutuhkan sarana itu karena telah membangun pangkalan militernya di pesisiran, maka "Palapa" itu pun menunai sukses besar."
      "Juga berkat kutukan itu masih berlaku, ayahanda?" tetak Dewi Anggia.
      Ra Vadia mengangguk.
      "Mengapa para raja penerus baginda Erlangga sebelum era Majapahit masih memusatkan kekuatan di pedalaman, ayahanda?" Dewi Anggia merasa peluang bertanya diberikan baginya.
      "Erlangga mewariskan ketakutannya yang pernah mengalami serbuan Sriwijaya, Ananda," sahut sang begawan.
      "Sriwijaya masih terlalu kuat militernya masa itu," Begawan melanjutkan, "Sri Krtanagara yang berada di luar jalur Sungai Brantas yang melalui Kediri-Porong itu juga sudah memusatkan angkatan lautnya di pesisiran Laut Jawa. Majapahit memang telah belajar dari sukses "Pamalayu" akhirnya sekadar meneruskan hal yang sama "memusatkan kekuatan laut di pesisiran Jawa".
    Sang begawan mengawasi pintu yang menganga lebar, sejak tadi kicauan prenjak terus-menerus menerobos ruangan itu. Suasana ruangan kerja begawan Ra Vadia cukup terang dari keempat penjuru ruangan yang berjendela itu terbuka semuanya.
    "Jayakatwang yang masih menguasai jalur Kediri-Porong itu sudah terlalu miskin membangun kekuatan militernya. Dan justru jalur Sungai Brantas warisan Erlangga itu yang pada akhirnya membawa pasukan Tartar membawa kebinasaan bagi kerajaan Kediri." Sejenak sang begawan mengguritkan sesuatu di rontal. Suasana berubah hening. Sang putri sedang membuat perhiasan anak-anak terbuat dari untaian sejenis jagung-jagungan. Seperti biasanya selesai memasak pagi itu, Dewi Anggia mengurus pakaian atau yang lainnya. Jika kebun di belakang rumah panen, maka kesempatan bersama ayahandanya itu dipergunakan membersihkan hasil panen.
     "Ayahanda, bagaimana dengan sumpah Sri Jayabaya mempersatukan Nusa Antara?" tanya Dewi Anggia, suaranya memecah keheningan yang sedang ditingkahi penggurit rontal dan ronce-ronce sang putri begawan itu.
     Begawan Vadia meletakkan penggurit dan meneguk air kendi.
      "Jayabaya yang semasa remaja sudah berkelana ke pedalaman hingga ke Pulau Bali dan tempat lainnya tidak perlu bersumpah apapun dalam upayanya mempersatukan wilayah Nusa Antara, dia hanya mempergunakan hati dan nalurinya sebagai satria-brahmana, pewaris terbaik wangsa Isyana Empu Sindok-Erlangga."
      Suasana kembali sunyi sang putri begawan rupanya sudah pulas. 
      Begawan pujangga Ra Vadia melanjutkan kisah itu dalam kepalanya, "Jayabaya dan Hayam Wuruk-Gajah Mada telah tiada, bagaimana nasib Nusa Antara? 
      Sebagaimana galibnya sejarah yang selalu terulang kembali maka Nusa Antara akan tercerai-berai kembali tanpa hadirnyaa sosok tangguh yang mampu berkiprah dalam suatu kerajaan besar dan perkasa. Demikian selanjutnya dengan hadirnya sosok yang tangguh berjiwa satria-Brahmana itu, maka Nusa Antara yang tercerai-berai itu akan mempersatukan dirinya kembali.

*****
Subowo bin Sukaris
hasta mitra Updated at: 9:23 PM