Misteri cinta segitiga Prabarini, Mpu Sedah, dan Sri Aji Jayabaya

Misteri cinta segitiga Prabarini, Mpu Sedah, dan Sri Aji Jayabaya
4

mbah S. Sukaris

Begawan Vadia pujangga masyhur semasa Hayam Wuruk itu kembali berkisah mengenai peristiwa duaratus limapuluh tahun yang silam.
      "Ananda Dewi Anggia, Prabu Jayabaya memang pernah mengadakan sayembara menerjemahkan kitab Mahabharata. Barangsiapa yang terpilih kelak maka apapun permintaannya akan dikabulkan oleh raja."
      Sang Begawan dapat membaca air muka Dewi Anggia yang sedang mengijak usia dua dasawarsa itu tertarik pada kisah cinta.
      "Dimulai oleh putri Erlangga, Dewi Sanggramawijaya atau Dewi Kilisuci, selanjutnya Prabarini, Dedes, dan terakhir Dewi Amisani itulah kisah dramatis mengenai putri di wilayah seputar kerajaan Kediri. Sang Baginda Jayabaya sendiri lahir dari sepasang orang tua yang legenda cinta mereka dikenang terus berabad-abad, perkawinan kerajaan itu pun akhirnya gilang-gemilang menyatukan kerajaan Kediri." Begawan Vadia menghentikan kalimatnya, sejenak mengawasi putrinya.
      Dewi Anggia tidak menyiakan peluang itu, dan ia menyela, "Ayahanda, ananda pertama memilih mendengarkan kisah Prabarini di antara kisah lainnya."
      Begawan Vadia sejenak mengumpulkan dayanya. Ia masih berdiam diri mengumpulkan segenap kekuatannya, dan tanpa sadar mengguritkan sesuatu di atas daun rontal.
      "Tepat sekali, Ananda. Kisah cinta Prabarini memang terjadi semasa Prabu Jayabaya memerintah kerajaan di tepi sungai Brantas itu. Jadi ayahanda akan melanjutkan kisah sayembara menerjemahkan Kitab Mahabharata yang diadakan oleh Jayabaya."
      Area pertanian yang subur yang lahannya datar dan rata di tepi sungai Brantas antara kaki gunung Kelud dan sisi timur sungai Brantas membentang mulai dari pusat kotaraja sepanjang seminggu perjalanan gerobak sapi ke arah utara. Sebuah dusun sehari perjalanan dari pusat kotaraja Kediri terdapat sebuah candi Growong, di antara para brahmani yang mengurus sebuah perguruan Syiwa dan candi Syiwa itu paling dikenal ialah Prabarini dan Empu Sedah. Dua remaja itu sudah menamatkan pendidikannya di perguruan Gawang yang berada di lingkungan Growong. Sebagai teman seperguruan, maka Prabarini mendorong agar Empu Sedah mengikuti sayembara yang tengah diadakan oleh istana Kediri.
      "Kanda ikutlah sayembara itu," kata Prabarini. Sedah menatap Prabarini yang sosoknya seolah bersinar berlomba dengan kecantikan seorang brahmani yang selalu tertutup oleh pakaian rapat itu. 
      "Kanda tidak tertarik dengan urusan duniawi apalagi guna mencapai kemasyhuran semacam itu, Prabarini," sahut Sedah yang tetap kukuh bersikap layaknya kaum Brahmana.
Sementara itu ratu anggabaya istana Kediri mulai khawatir dengan nasib sayembara raja. Ia memutuskan mengirimkan telik sandi ke segenap penjuru wilayah Kediri, terutama ke perguruan-perguruan Syiwa, Wisynu, dan Buddha ternama masa itu.
      Sebulan kemudian berbagai laporan masuk ke istana Anggabaya, istana panglima pasukan darat Kediri, "Di dusun Gawang dekat candi Growong, Yang Mulia Anggabaya, sepasang merpati yang selalu terbang bersama-sama memiliki kemampuan yang berlebih."
      Ratu Anggabaya menghadap prabu Jayabaya. Seharian itu keduanya menikmati hiburan istana, para penari terbaik didatangkan untuk menghibur raja yang duduk tidak seperti biasanya berjauhan. Kali ini keduanya berdampingan mengepung hidangan yang melimpah itu, di pendopo dalam istana diiringi dan dilatari para penari dan penabuh gamelan. Tak ada petinggi kerajaan diundang dalam acara istimewa itu.
      Prabu Jayabaya lebih banyak bicara dan berkali-kali menatap anggabaya yang berusaha berbicara lirih di tengah suara gamelan yang mengisi setiap sudut pendopo itu.
      Sejak peristiwa itu Anggabaya Kediri terus mengurung diri dalam istananya. Demikian pula Prabu Jayabaya tetap memberi kesempatan pada peserta lomba untuk menghadap raja secara langsung, tak pernah ada penolakan bagi siapaun jika ingin mengikuti sayembara itu. Satu bulan, dua bulan, dan bulan-bulan telah berlalu. Hingga pada suatu hari sepasukan berkuda mendadak berbaris ke utara, tepat ke sasaran dusun Growong.
      "Atas titah junjungan kita Baginda Prabu, kami diutus membawa dengan penghormatan bersama kami satu orang wakil perguruan Gawang. Sang Mahaprabu membutuhkan seorang gadis brahmani untuk menjadi juri pengganti istana untuk menilai setiap peserta lomba yang diadakan raja," kata kepala pasukan itu kepada pimpinan perguruan Gawang, dia tidak lain daripada Begawan Ganesyaraja. Ayahanda Prabarini itu sebentar menelengkan kepalanya. Ia terheran-heran mengapa baginda membutuhkan seorang perawan untuk menilai peserta sayembara istana.
      "Yang Mulia,...." Begawan itu ragu sejenak mengutarakan sesuatu. Kepala pasukan itu tetap bersabar menghadapi cendekiawan itu. Ratu Anggabaya telah mewanti-wantinya agar tidak menggunakan kekerasan. Kesabaran akan membuahkan hasil dalam menghadapi lawan yang intelek semacam begawan Ganesyaraja.
     "Yang Mulia Begawan keberatan untuk memilih salah seorang siswa Gawang?" tetap kepala pasukan itu.
      Sikap prajurit itu sejenak mengendorkan perasaan sang begawan, "Kami ingin mengajukan syarat, Yang Mulia, apakah itu bisa langsung diputuskan sendiri oleh Yang Mulia atau menunggu kebijakan istana?"
      "Silakah Yang Mulia mengajukan syarat apapun itu."
      "Baiklah. Kami sebagai ayahanda Prabarini akan mendampinginya di istana Kediri selama bertugas menilai peserta lomba raja," suara mantap terdengar keluar daru mulut begawan itu.
      "Tentu saja, Yang Mulia begawan. Silakan mengunjungi istana dan menghadap sang Prabu langsung tanpa halangan."
      Hari itu juga ayah dan anak itu diiringi pasukan berkuda menuju istana Kediri.
      Sepeninggal Prabarini kini seorang diri Sedah mengurus candi Growong, ia mulai merasa ada sesuatu yang kosong. Ia teringat saran Prabarini tempo hari agar dirinya ikut menjadi peserta sayembara. Apalagi sekarang ini jurinya adalah Prabarini, seorang yang mengenalnya paling baik selama di perguruan Gawang ini.
      "Baginda, tampaknya sudah hampir satu purnama berlalu sejak Prabarini memasuki istana. Umpan itu belum lagi disentuh...." Suatu pagi Anggabaya menghadap Baginda Prabu Jayabaya di ruangan sidang istana.
      Prabu Jayabaya mengucapkan sesuatu dekat telinga Anggabaya. "Yang Mulia.....," pekik Ratu Anggabaya. Ia tidak berani menanyakan lebih lanjut rencana junjungannya itu. Ia bertanya-tanya dalam hati, "Yang Mulia serius atau itu bagian dari strategi perang," terlontar juga isi hati Anggabaya Kediri.
      Baginda tidak menyahut, ia pun memberi isyarat agar menteri itu mengundurkan diri.
      Beberapa hari persiapan terdengar wara-wara, "Baginda akan mengangkat Prabarini menjadi permaisyuri Kediri......" Sedah tersentak, setengah tidak mempercayai wara-wara itu.
      Maka pada akhirnya Sedah pun memutuskan untuk menjadi salah satu peserta sayembara menerjemahkan Mahabharata, ia menyewa gerobak sapi untuk mengantarnya menuju kotaraja. Sebelum berangkat Sedah telah menyerahkan kepengurusan candi Growong kepada panitia yang dibentuk mendadak oleh Sedah.
      Setiba di istana Kediri tanpa membuang waktu Sedah segera mengajukan diri mengikuti sayembara dan setelah diterima ia langsung menerima soal ujian.
      "Yang Mulia Juri, ini terjemahan kami atas soal yang dimajukan." Sedah mendekati juri untuk menyerahkan lembar jawaban soal ujian, dalam pada itu tidak mau menatap wajah Prabarini secara terang-terangan. 
      "Terimakasih, Mpu....." Prabarini tersenyum sekilas, dan mulai mempelajari hasil ujian lebar jawaban di atas rontal itu. Tangannya sedikit menggetar mengetahui apa yang tertulis di sana.
      Sedah yang sedang menunggu hasil ujian tetap berada di ruangan itu. Ia terhenyak tatkala Prabarini menghampirinya kembali begitu cepat.
      Rontal berisi jawaban berupa hasil terjemahan dalam Jawa kuno beberapa bait Mahabharata itu diserahkan kembali kepada Sedah.
      "Silakan Mpu.... menerjemahkan ini ke dalam Sansakrta," dan Prabarini mengulurkan rontal itu berikut lebaran kosong yang baru.

****
"Ayahanda, mengapa Sedah tidak menayakan perihal wara-wara Prabarini akan menjadi Paramesywari Kediri?" selesai menyiapkan sarapan bagi ayahanda begawan Vadia pagi itu Dewi Anggia mulai menunggu kisah Prabarini selanjutnya.
      Begawan pujangga Majapahit itu tidak segera menyahut, ia membersihkan tangannya dengan air kobokan yang tersedia di dekatnya. 
      "Kelihaian telik sandi kerajaan Kediri merupakan kunci kejayaan dalam menyatukan wilayah di luar Jawa. Untuk soal semacam itu, rupanya para telik sandi kerajaan telah mengatur semuanya, dan hasilnya Prabarini sama sekali tidak tahu sedikit pun mengenai wara-wara itu. Sedah tidak mengetahui hal itu, dan tidak sempat mengonfirmasikan hal itu dengan Prabarini.
      Ratu Anggabaya menerima Prabarini di istana Anggabaya Kediri.
      "Yang Mulia, Mpu Sedah itu kami anggap sebagai calon terbaik untuk tugas menerjemahkan Mahabharata ke dalam Jawa Kuno." Prabarini melapor secara rutin hasil penjuriannya sekali untuk beberapa hari. Kali ini laporannya dianggap sangat istimewa oleh Anggabaya.
      "Mpu Sedah itu berasal dari mana, Prabarini?" tanya Anggabaya.
      "Ia mengaku dari seberang sungai Brantas, Yang Mulia."
      "Tidak apa-apa, kalau begitu," sang Anggabaya terkejut mendengar itu, rupannya Sedah menyembunyikan dirinya, entah dengan maksud apa.
      Anggabaya bergegas menghadap Prabu Jayabaya yang akan berkenan mengumumkan sendiri pemenang sayembara yang tengah diadakan oleh kerajaan Kediri.
      Sedah pun dipanggil menghadap Baginda, setelah keputusan sidang kerajaan memutuskan dirinya adalah sang pemenang.
      "Mpu Sedah, sesuai janji kami sendiri, maka kelak setelah tugas menerjemahkan itu selesai, sang empu boleh mengajukan permintaan apapun sebagai hadiahnya," setelah mengumumkan itu sang raja mengundurkan diri memasuki ruangan dalam istana.
      Selama Sedah berkutat dengan rontal dan kitab Mahabharata, selama itu pula Prabarini yang berstatus seorang brahamani pengurus candi Growong masih dibebani tugas barunya, apa saja. Jayabaya telah memprediksi keduanya, Sedah dan Prabarini akan jatuh cinta satu sama lain. Istana menyadari tanpa Prabarini berada di istana maka Sedah bisa saja sewaktu-waktu dan dengan alasan segala macam akan mengundurkan diri. 
      Tampak laporan telik sandi dari gerak-gerik sehari-hari, mereka berusaha saling bercakap sebagai sesama alumni perguruan Gawang. 
      Tampak juga bahwa belum pernah sekalipun tersirat dalah hati Sedah untuk mengingkari dirinya sebagai Brahmana, Brahmana yang mengajar di perguruan Gawang dan mengurus candi Growong yang tidak boleh jatuh cinta. 

****
Begawan Vadia memutuskan menghentikan cerita itu dari pendengar setianya putrinya sendiri, Dewi Anggia, karena selanjutnya kisah itu masih merupakan misteri. 
      Dalam hati sang begawan pujangga itu rupanya masih berusaha meneruskan kisah Jayabaya, Mpu Sedah, dan Prabarini, kali ini kisah itu hanya untuk dirinya sendiri.
      "Keduanya setelah bertahun-tahun berada di istana Kediri, yang satu karena memenuhi tugas penuh ambisius seorang raja, dan yang lainnya menjadi tawanan istana yang tidak pernah menyadiri keadaan dirinya. Hingga pada akhirnya bersemilah cinta di balik tabir di antara Sedah dan Prabarini. Seiring perjalanan waktu yang semakin membesar cinta mereka secara pelahan dan tanpa dapat dihalangi keduanya melepaskan jubah masing-masing sebagai brahmana dan seorang brahmani."
      Hukuman raja pun akhirnya dijatuhkan kepada Sedah yang tidak mampu lagi melanjutkan kerjanya, dan juga karena ia sebagai brahmana suci telah jatuh cinta pada seorang brahmani. Demikian pula hukuman kepada Prabarini mengiringi terhadap Sedah, Prabarini pun telah dianggap melanggar sumpahnya sebagai seorang brahmani. Maka terhentilah untuk sementara penggarapan Mahabharata untuk beberapa waktu lamanya sampai ditemukannya seorang empu baru yang sekelas Sedah.

*****

Subowo bin Sukaris
hasta mitra Updated at: 11:20 PM