"Dunia di Balik Jeruji: Kesaksian Perlawanan"


Mengkaji catatan bung Wilson dari penjara, saya ingin memulai dengan mengutip bebas ucapan Jusuf Kalla sebelum ia dilantik resmi menjadi wakil presiden. Apa yang diucapkan mencerminkan niat baiknya setika ia mengimbau agar pengalihan kepemimpinan nasional berlangsung santun dan damai, tanpa menghujat pimpinan yang mundur. Sesuatu yang agaknya diharapkan menjadi tradisi dalam prilaku kita berpolitik. Semua itu diperlukan demi rekonsialisasi bangsa, demikian harapan Jusuf Kalla.


"Dunia di Balik Jeruji: Kesaksian Perlawanan"

Kata Pengantar 

Joesoef Isak


      Penggunaan kata "menghujat" (menghujah) terasa seakan kita berada di wilayah agama, sehingga apabila kita menghujat maka kita telah membuat suatu dosa besar. Sebenarnya bukan hanya dari segi agama, dalam konteks politik pun "menghujat" adalah sesuatu yang harus ditabukan, karena menghujat tidak lain berarti memfitnah. Namun segalanya menjadi salah kaprah pada saat "menghujat" kebablasan di-identikkan dengan mengkritik penguasa.
      Megawati sebagai ketua PDI-P di tahun 1998 dalam salah satu tampilannya yang pertama di Gedung Pancasila Pejambon mempesona banyak orang ketika dia menyerukan untuk tidak menghujat Presiden yang baru saja melngsrkan diri. Dan selama kekuasaannya, Megawati sebagai ketua PDI-P mau pun sebagai Presiden tidak pernah menghujat Presiden Suharto, walau pun semasa jendral Orde Baru itu berkuasa, Presiden Soekarno yang dia gulingkan tidak habis-habis dihujat lewat para pendukungnya dalam segala posisi dan dalam berbagai kesempatan -- terang-terangan mau pun terselubung. Soeharto sendiri dengan penuh kearifan memaafkan semua kesalahan Bung Karno, "mendem jero, junjung duwur" katanya. Eufemisme khas budaya munafik Suharto yang implisit memfitnah Bung Karno terlibat "G30S-PKI". Apa yang dilakukan Suharto adalah betul-betul mendem jero (pendam dalam-dalam) Bung Karno di Wisma Yaso yang dia jadikan penjara pribadi, dan junjung duwur (junjung tinggi) teknik-teknik mengelabui publik dengan cara halus. Apa yang dikerjakan Suharto adalah memenjarakan Bung Karno, tetapi kepada pers dan publik dikatakan menjaga keselamatan Bung Karno.
      Baris-baris introduksi yang diuraikan di atas, sepenuhnya berkaitan dengan Wilson karena isi bukunya bercerita tentang pengalaman penjara yang dengan sendirinya akan menyangkut masalah hukum dan kebijakan penguasa, begitu pun berkait dengan ucapan Jusuf Kalla yang mendambakan rekonsiliasi.

***

Saya tertegun mengeleng-geleng kepala membaca catatan-catatan Wilson yang sekarang dibukukan ini. Usianya boleh dikatakan separoh umur saya -- di tahun 60-an dan 70-an saya sudah mengalami berbagai perlakuan kesewenang-wenangan kekuasaan Orde Baru Suharto, misalnya ditahan tanpa pernah diadili, lalu saya diangkat resmi menjadi anggota PKI tanpa diberi kartu-anggota dan tentu juga tanpa sepengetahuan D.N.Aidit dan PKI, lantas dimulailah gerakan massal bersih lingkungan yang menyeret seluruh keluarga sampai ikut merasakan berbagai kesengsaraan.
Wilson yang seusia anak saya rupanya juga harus mengalami hal yang sama -- cukup terperanjat saya menyadari bahwa kekejaman dan kesewenang-wenangan hukum rupanya berkelanjutan panjang sekali sampai-sampai melintas generasi. Sekian lama pemerkosaan hukum dan ketidak-adilan menjadi kelaziman sehari-hari tanpa ada kekuasaan yang mengatakan "stop!" walaupun sudah tampil tiga presiden baru sesudah Suharto lengser. Kesewenang-wenangan melecehkan hukum dimulai 1965 -- tigapuluh tahun kemudian di tahun 1995 Wilson dan kawan-kawannya yang belum lahir atau di tahun 1965 masih bayi merasakan perlakuan sama dengan apa yang dialami oleh generasi sebelumnya. Bukankah keadaan seperti itu bisa terjadi karena larangan menghujat identik dengan larangan mengkritik penguasa?
      Hipokrisi, eufemisme, basa-basi canggih tapi kosong, "ya" yang tidak selalu berarti "ya", "tidak" belum tentu berarti "tidak" membudaya pada elit penguasa dan kebanyakan politisi kita. Masyarakat terlatih berpikir munafik: tidak ada penahanan, yang ada adalah pengamanan demi kepentingan yang bersangkutan sendiri; tidak ada lagi buruh yang selalu menentang majikan, yang ada hanyalah karyawan yang bekerjasama dengan majikan dalam rangka hubungan industrial pancasila; tidak ada lagi pemecatan, yang ada hanyalah phk. Tidak ada kenaikan harga, yang ada hanyalah penyesuaian tarif, bla-bla-bla, bla-bla-bla. Tidak disadari lagi kita terbiasa hidup dalam masyarakat sakit yang parah kejangkitan kemunafikan. Tidak mengherankan kebusukan yang harus diangkat ke permukaan untuk dibersihkan tuntas -- sekali dan untuk selamanya --, tetap saja mendem jero, kebusukan itu tetap ada di tengah-tengah kita. Kita hidup rutin bersamanya.

***

"Untung Wilson masuk penjara!" Kata-kata seperti itu tentu tidak pantas diucapkan terhadap orang yang sedang kena musibah seperti dialami Wilson. Tetapi saya hanya meminjam kelakar jitu almarhum Gepeng, pelawak tenar Srimulat yang berkata "untung ada saya!"
    Untung ada Wilson, untung dia masuk penjara Cipinang, untung dia alumnus ilmu sejarah dan sebelum ditahan banyak melakukan penelitian sosial. Berkat itu semua, sekarang kita menjadi banyak tahu tentang isi Penjara Cipinang yang minim dibeberkan terbuka kepada publik. Sebagai seorang peneliti sosial, dia secara lugas mencatat apa yang dia alami dan lihat sendiri, laporan-laporannya pun akurat bertanggal masa kejadian. Di penjara Cipinang itulah dia jumpa orang-orang usia lanjut, segenerasi bapaknya bahkan juga kakeknya yang menunggu eksekusi hukuman mati, vonis seumur hidup, atau sekarat menahun tetapi tetap dipenjarakan -- jangankan dipulangkan, dibawa ke rumah sakit pun tidak. Orang-orang lanjut usia itu adalah dari kategori apa yang disebut tahanan G30S-PKI. Silakan membaca rentetan nama dalam kategori lansia itu dalam buku Wilson ini. Dia juga jumpa tapol TimTim, antara lain Xanana Gusmao, Presiden Timor Leste sekarang, reformis berani yang tidak ditolerir Suharto, Bintang Pamungkas, tapol golongan Islam, kelompok-kelompok yang pada awalnya di tahun 1965 seiring-sejalan dan mendukung jendral Orde Baru Suharto. Tetapi rupanya the founding father rejim Orde Baru tidak bisa terima orang-orang berpikiran lain, "de andersdenkenden", mereka pun akhirnya mendarat di penjara. Karena penjara Cipinang bukan khusus penjara tahanan-politik, dengan sendirinya Wilson cs menjadi berteman juga dengan para tahanan kriminal.
    Yang sekarang menjadi jelas bagi saya setelah membaca buku Wilson, kebijakan bersih lingkungan semasa 60-an dan 70-an rupanya berlanjut terus dan mengimbas juga Wilson cs, para intelektual muda yang ketika itu bergabung dalam kekuatan alternatif PRD. Mereka merupakan kekuatan pontensial penerus komunisme PKI yang sangat berbahaya, tentu begitulah penilaian penguasa Orde Baru yang otomatis di-endorsed oleh banyak inteligensia dan pers kita. Bahwa politisi dan inteligensia kita percaya dan menerima mentah-mentah apa yang dikatakan Penguasa tidaklah mengherankan, karena dalam masyarakat berjalan proses pembodohan secara efektif dalam bentuk penyeragaman berpikir dalam segala posisi dan dalam segala hal. Praktek bersih lingkungan tetap berjalan konsisten, memang agak berbeda namun dalam esensinya apa yang dialami oleh Wilson berikut kawan-kawannya ketimbang yang dialami tapol-tapol tua sebelumnya adalah tetap sama. Keluarga pengurus teras PRD di pusat mau pun daerah rupanya ikut terseret-seret mengalami musibah gara-gara anak mereka dianggap komunis berbahaya. Budiman keluarganya didatangi Korem, orangtua Putut di Purwokerto diinterogasi kasospol setempat, ibu Garda Sembiring dijadikan tersangka, Petrus keluarganya diteror, keluarga para intelektual muda ini -- termasuk Dita Sari -- ikut menderita akibat kebijakan bersih lingkungan khas rejim Orde Baru itu. Hampir semua dari para tapol muda yang sebenarnya calon sarjana pada putus kuliah, mereka dipecat oleh pimpinan universitas yang dalam praktek sepenuhnya seragam menjalankan kebijakan bersih-lingkungan pimpinan Orde Baru.
      Menarik adalah narasi Wilson tentang pergaulan mereka sehari-hari di dalam penjara -- interaksi perorangan dan kelompok yang berbeda pandangan, keserasian yang secara wajar tumbuh di antara mereka yang berlainan keyakinan politik dan ideologi. Hal ini saya anggap sebagai faktor plus di penjara, sesuatu yang positif dan produktif. Mereka saling lebih mengenal, saling tolong-menolong, Wilson bahkan membantu beberapa tapol lansia menuliskan memoar masing-masing. Tumbuh solidaritas sependeritaan, mereka lebih mengerti satu sama lain meski berbeda pandangan. Sebenarnya "kakak generasi" Wilson sudah mengalami hal yang sama duapuluh tahun sebelumnya. Di tahun 1974 rejim Orde Baru menjebloskan ke dalam penjara para pemuda dan mahasiswa yang dituduh makar dalam Peristiwa Malari. Faktor plus penjara ketika itu adalah bahwa mereka berkesempatan jumpa dengan para tapol komunis yang oleh Penguasa dianggap sangat berbahaya. Mereka sempat membaur dan dengan sendirinya sempat berdiskusi dengan Syam Kamaruzaman, Munir, Sudisman, Nyono, Supardjo, Subandrio, Omar Dhani dan masih banyak lagi. Tapol-tapol muda itu jelas tidak menjadi komunis, akan tetapi bertambah kaya pengalaman, berwawasan lebih luas, matang politik. Dan kematangan politik itulah membuat mereka sadar pada suatu kenyataan, bahwa orang-orang yang semula dianggap musuh berbahaya, ternyata sama sekali bukan musuh -- sebaliknya mereka dengan rasional menjadi tahu siapa musuh mereka sesungguhnya yang harus dilawan bersama. Perkembangan positif yang sama berlangsung juga dengan generasi yang lebih muda lagi, Wilson dan kawan-kawan di Penjara Cipinang.
     Tanpa Keppres, tanpa Undang-undang, tanpa DPR/MPR dan tanpa elit pimpinan parpol, berlangsung proses rekonsiliasi secara wajar antara mereka yang berbeda keyakinan sebagaimana sudah lama diidam-idamkan masyarakat untuk hidup rujuk dalam alam kerukunan nasional. Sudah tentu rekonsiliasi di dalam penjara dalam satu komunitas terbatas dan juga wilayah terbatas, tidak bisa berlangsung dengan sendirinya dalam masyarakat luas dan dalam kehidupan politik di luar penjara di mana terdapat pihak yang berkuasa dan pihak yang dikuasai, kwantitas tentu mempengaruhi kwalitas dengan warga-negara yang jumlahnya melebihi duaratus juta orang. Jadi syarat apakah yang diperlukan untuk mewujudkan rekonsiliasi yang betul-betul berjalan dan berfungsi, agar menjadi prilaku politik semua aktor dan kekuatan sosial dalam masyarakat?
      Pada akhir kajian tentang buku Wilson ini, saya ingin kembali kepada ucapan niat luhur Jusuf Kalla untuk menyelenggarakan rekonsiliasi setelah pihak-pihak bersangkutan cukup lama sejak 1965 berseteru berhadap-hadapan.

***
Kita lihat banyak inisiatif positif dilakukan oleh perorangan mau pun lembaga-lembaga seperti LSM untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional. Anak-anak korban G30S dan anak-anak para Pahlawan Revolusi telah memberikan contoh konkret, mereka mengubur masa lalu dan sepakat bersama mau membangun masa depan yang lebih baik dalam semangat rekonsialisi sejati. Ada yang bergabung dengan kelompok anak-anak korban tersebut, dan berpikir sejalan dengan seruan Kennedy "forgive but never forget", sikap seperti itu pun bolehlah kita terima sebagai sikap positif. Ada pula yang mengatakan "tunggu dulu, jangan gampang-gampang saja menuntut rekonsiliasi. Harus lebih dulu dilakukan katarsis total, fisio -- mau pun psycho-catharsis", komplet pembersihan soul and mind, rohani dan pemikiran. Yang berpendapat seperti itu biasanya menganggap pihak lain yang harus membersihkan diri, sedangkan dirinya sendiri tak perlu mawas-diri karena merasa tidak punya kesalahan apa-apa, melainkan hanya jadi korban semata-mata. Walau tuntutan katarsis seperti itu cuma lalu-lintas searah, itu pun boleh saja kita perhatikan untuk dikaji dan ditemukan pemecahan permasalahannya.
     Namun inti permasalahan rekonsiliasi bukan terletak di situ. Terwujudnya rekonsiliasi nasional pasti tidaklah cukup hanya dengan segudang niat baik, tidak cukup hanya dengan katarsis jiwa dan pikiran oleh satu pihak atau pun kedua pihak yang berhadapan, juga tidak cukup dengan banyaknya inisiatif perorangan atau kelompok. Realisasi rekonsiliasi bukan semata-mata urusan perorangan yang memiliki niat baik, tetapi rekonsialisi paling hakekat adalah masalah kekuasaan -- lebih dipertajam lagi : masalah watak kekuasaan yang mutlak harus memiliki kemauan politik tegas untuk menegakkan hukum.
      Orang-orang di Indonesia yang mendambakan rekonsiliasi nasional telah kontan-kontan nyontek rekonsiliasi yang terjadi di Afrika Selatan. Tetapi orang-orang dengan niat luhur ini mengabaikan sama sekali satu faktor sangat penting, yaitu bahwa syarat menentukan untuk berhasilnya rekonsiliasi itu memang tersedia di Afrika Selatan, sedangkan di Indonesia sama sekali tidak. Di Afrika Selatan telah terjadi perubahan kekuasan secara kwalitatif, suatu metamorfosa signifikan terjadi dalam watak kekuasaan, yaitu : peralihan resolut radikal dari kekuasaan apartheid de Clerck ke kekuasaan anti-diskriminasi Nelson Mandela. Kekuasaan reaksioner represif beralih ke tangan kekuasaan berwatak progresif. Itulah yang saya namakan perubahan kwalitatif.
     Bagaimana di Indonesia? Adakah terjadi perubahan? Betul, Suharto sudah turun pentas tetapi kekuasaannya -- lebih tepat watak-kekuasaanya -- sama sekali tidak berubah, bahkan seluruh aparat lama Suharto masih tetap utuh, in tact.Watak kekuasaan Suharto sejak dari awal mulai1965 dengan berencana mengobrak-abrik kerukunan nasion, etnik dan agama yang dibangun oleh Bung Karno. Sampai hari ini pun tidak terjadi perubahan kwalitatif sama sekali, bahkan banyak dari warisan Suahrto dengan sadar mau dipelihara dan dilestarikan. Perubahan yang ada hanyalah pada kulit di permukaan saja.

Setelah Perang Dunia II beralih menjadi Perang Dingin, kita saksikan "dunia bebas" menggunakan "komunis" sebagai bahan-bakar penyundut untuk membenarkan penggunaan senjata melawan momok yang sangat menakutkan dunia itu. Kita lihat apa yang telah terjadi dengan Vietnam dan "teori domino" McNamara di masa lalu, tetapi di sana "dunia bebas" gagal total, sebaliknya di Indonesia mereka berhasil gilang-gemilang. "Dunia bebas" yang mempunyai basis kuat di Indonesia sukses menggulingkan Bung Karno dengan bahan-bakar bahaya komunis yang sama. Sekarang bahan-bakar penyundut agak menggeser, di samping komunisme kini terdapat juga bahaya baru : teror Islam fanatik. Kita lihat sekarang, Indonesia terimbas terorisme sehingga harus melawan terorisme itu, akan tetapi di samping itu masih saja sistematis kita dengar : "awas bahaya latent komunis jangan sampai dilupakan!" Kita sudah total sama dan sebangun, sepikiran sebahasa dengan Amerikanya-Bush. Apa lagi bedanya dengan Bushnya-Amerika? Apa yang dianggap bahaya oleh Bush, menjadi juga bahaya bagi Indonesia. Indonesia masakini bukanlah lagi Indonesianya Bung Karno, sadar atau tidak sadar bulat-bulat Indonesia sekarang bernaung bersama "dunia bebas".


(Menyimpang sebentar : Saya sengaja menyebut Amerika dengan Amerikanya-Bush, karena tidak mau me-jeneralisasi Amerika seluruhnya jelek [the ugly America]. Di Amerika cukup banyak terdapat orang Amerika yang baik, unsur-unsur yang bisa dinamakan the New Emerging Forces Amerika. Akan tetapi kentara jelas sekali bahwa The Old Established Forces di Amerika Serikat masih sangat dominan.)

Kita memerlukan kajian psycho-history untuk membaca peta politik nasional dan internasional secara jernih guna membebaskan diri dari segala warisan konflik yang serius mau pun yang artifisial. Tewasnya lebih dari 3.000 manusia tak bersalah dalam kekerasan terkutuk 9/11 terhadap gedung WTC New York, menjadi "berkah" bagi Bush karena dia merasa mendapatkan alasan sah untuk meng-invasi Irak -- lalu dia pun mau menegakkan demokrasi bagi rakyat Irak. Apa yang kemudian terjadi adalah kekerasan tidak henti-hentinya yang menelan ribuan korban rakyat Irak. Misi Bush berkelanjutan terus sampai hari ini tanpa kita tahu kapan akan berakhir. Empatpuluh tahun sebelumnya, Suharto pun mendapat "berkah". Gugurnya jendral Yani cs, para pahlawan revolusi kita dalam kekerasan terkutuk di tahun 1965 menjadi "berkah" bagi Suharto yang dipakai sebagai alasan sah untuk membantai dan memenjarakan berjuta warga Indonesia yang tidak sepaham dengan dia guna membuka jalan ke tampuk kekuasaan tertinggi. Lantas Suharto pun mau menegakkan demokrasi pancasila yang murni dan konsekwen. Jenazah  jendral Yani cs yang patut dihormati, dimanfaatkan oleh jendral Suharto sebagai tempat berpijak untuk mengangkat dirinya ke puncak kekuasaan. Suharto tidak pernah menghormati para jendral yang gugur sebagaimana mestinya selain demi kepentingannya sendiri. Selama tigapuluh tahun berkuasa, ahli-waris para jendral yang gugur pun tidak pernah dia urus atau perhatikan.
     Dan hari ini para pendukung Suharto di era reformasi lagi-lagi memanfaatkan "berkah" berupa warisan ingatan bahaya komunis yang ditinggalkan Suharto. Warisan dendam yang terus dipupuk agar hidup subur selama-lamanya. Sekali lagi timbul pertanyaan: lantas apa bedanya Indonesia dan Bushnya-Amerika -- dulu ada bahaya komunis untuk tidak dilupakan selama-lamanya, sekarang ada bahaya Islam fanatik yang harus dibasmi dengan tuntas. Di lain pihak, para anggota PKI dan pendukung Soekarno yang langsung atau tidak langsung tidak ada urusan apa-apa dengan G30S, mereka pun punya warisan ingatan bagaimana orangtua dan sanak-saudara mereka dipenjarakan dan dibantai. Mereka pun tidak pernah akan lupa bagaimana Bung Karno dipenjarakan di Wisma Yaso sampai pada akhir hayatnya. Bedanya dengan para pendukung Orde Baru, mereka yang terimbas peristiwa G30S menjadi underdog dalam masyarakat dan tidak mampu berinisiatif apa-apa kecuali berusaha bisa tetap eksis dan survive dalam hidup sehari-hari.
     Dari gambaran yang dipaparkan di atas kita lihat betapa pelik dan rumit situasi yang kita hadapi untuk menyelenggarakan suatu rekonsiliasi nasional yang betul-betul workable -- berfungsi efektif dalam masyarakat, menjadi prilaku kita berbangsa dan bernegara.
     Prakarsa anak-anak Yani dan Aidit dengan maksud luhur dan tujuan baik jangan menjadi hanya terbatas semacam silahturahmi "kita-sama-kita", sebuah klub onder onsje, tidak lebih luas gemanya dari sebuah pertemuan arisan. Kendala paling serius untuk rekonsiliasi justru datang dari kubu para pendukung Orde Baru yang dengan sadar memelihara, bahkan menyubur-nyuburkan "warisan ingatan konflik", warisan ingatan bahwa PKI dan komunisme berbahaya, walau pun sekarang sudah hadir pula bahaya Alqaeda, kekuatan Islam fanatik. Padahal yang disebut warisan ingatan berbahayanya komunisme, tidak lain adalah sebuah abstraksi, rekayasa yang diterima dan dianggap sebagai kebenaran, bahkan dianggap sebagai kenyataan. Dalam kenyataan kita lihat bahwa kekuatan Orde Baru yang melawan "bahaya komunisme" itu (juga kekuatan Bush-nya Amerika yang mau menegakkan demokrasi di Irak), dalam praktek telah menghasilkan warisan kemiskinan, kesengsaraan, pembodohan, korupsi, pembantaian dan pemenjaraan warga Indonesia berjuta lipat-ganda daripada korban yang jatuh pada 30 September -- 1 Oktober 1965. Demi terus mempertahankan kenikmatan kekuasaan dan kekayaan yang diraih selama tigapuluh tahun, maka warisan ingatan yang rancu itu oleh para pewaris Orde Baru terus dibakukan, dipupuk, dipelihara dan dibesar-besarkan.
     Jadi bagaimana mau menyelenggarakan rekonsiliasi? Legitimasi kekuasaan negara di tangan lembaga eksekutif dan legislatif berikut perundang-undangan memang merupakan pra-sarana yang diperlukan untuk menyelenggarakan rekonsiliasi nasional, tetapi semua pihak yang terlibat terlebih dulu mutlak menyadari dan harus tahu menangani  duduk- soal dari seluruh masalah yang dihadapi. Menangani duduk-soal yang dimaksud tidak lain adalah pembenahan lebih dulu kerancuan kerangka berpikir selama ini mengenai rekayasa warisan ingatan tersebut. Warisan ingatan apa pun yang ada dalam benak  setiap warga Indonesia, apalagi warisan ingatan sebuah abstraksi yang direkayasa, adalah sulit untuk dihapus. Oleh karena itu, yang harus jelas terlebih dulu bagi semua orang adalah bahwa rekonsiliasi bukanlah  bahwa pihak-pihak yang berseteru politik harus menghapus warisan ingatan konflik mereka, bahwa yang berseteru politik harus bersalam-salaman dan rangkul-rangkulan, harus melakukan katarsis dan sebagainya.
     Rekonsiliasi dalam inti dan pada hakekatnya adalah MENEGAKKAN HUKUM! Ini berarti bahwa institusi Pengadilan yang jujur dan adil mutlak harus menghukum orang yang bersalah, menghukum orang yang jelas-jelas terbukti melakukan tindak pidana hukum. Jadi sekali-kali tidak menghukum orang-orang yang tidak melakukan tindak pidana hukum -- tidak ada dalam hukum apa yang disebut dosa-kolektif. Selama ini dan sampai hari ini, tigapuluh-delapan tahun lamanya berlangsung situasi hukum seperti itu di Indonesia.
      Buku bung Wilson, dan buku-buku lain seperti "Menggelapkan Sejarah" oleh Harsutejo, memoar "Perjalanan Hidup Saya" oleh Umar Said (refugee poltik yang terdampar di Paris), dan masih banyak lagi buku-buku lain dengan tema yang sama mengenai pengalaman penjara dan pembuangan politik, saya mengharapkan agar mengajak kita semua berpikir mengenai rekonsiliasi, mengenai menegakkan hukum dan bukan melestarikan penyelewengan hukum atau impunity. Bahwa perlu diberlakukan amnesti nasional itu adalah masalah lain.

Jakarta, Oktober 2004
Subowo bin Sukaris
hasta mitra Updated at: 10:42 PM