Kenangan editor Hasta Mitra kepada seorang putera besar Belanda

Kenangan editor Hasta Mitra
kepada seorang putera besar Belanda



Dengan sedih saya menerima permohonan ikut membuat prasasti bagi Komite Indonesia yang rupanya sekarang sedang menyiapkan kuburannya sendiri. Dengan sendirinya saja pikiran saya melayang terutama ke para pemuda dan mahasiswa Belanda, para scholars progresif Belanda, para refugee Indonesia di Belanda, para pekerja di Komite Indonesia yang secara bersama maupun sendiri-sendiri dalam dekade-dekade kelabu zaman militerisme Soeharto membaktikan diri bekerja dan berkelahi demi Indonesia yang lebih baik, mulai usia mereka yang masih remaja sampai sudah melewati usia pertengahan. Saya tahu dengan pasti bahwa semangat penggerak dan pengilham besar untuk melakoni tugas maha besar itu tidak lain adalah dia : Prof. Dr. W.F. Wertheim, orang yang jauh lebih tua usianya daripada saya tetapi demi keakraban dan persahabatan meminta  saya memanggilnya dengan “Wim” saja.
      Saya adalah tapol rejim fasis Orde Baru yang in levende lijve paling pertama – masih dalam status tahanan kota – dalam tahun 1977 berhadap-hadapan dengan sahabat-sahabat Belanda itu di Belanda, berkat keberhasilan meng”urek-urek” KTP ber-ET yang mencegah saya ke luar kota, apalagi ke luar negeri. Masih lima-enam kali lagi petualangan seperti itu bisa saya ulangi dan setiap kali saya muncul di Belanda, saya dengan diantar oleh bung Edi Tahsin pasti selalu bertemu dengan “Paman Wag” dari Wageningen, nama sandi Wertheim sebagaimana Pramoedya selalu menggunakannya dalam korespondensi dengan sahabat sejatinya itu. Dalam pertemuan-pertemuan itu cukup beragam masalah dibicarakan, petunjuk dan saran dari beliau saya terima sebagai editor karya-karya Pramoedya, saya pun menyampaikan berbagai pesan Pramoedya Ananta Toer, sebaliknya Paman Wag selalu menitipkan sesuatu bagi Pramoedya. Hubungan Pramoedya  dan Wertheim memang sangat khusus dan erat sekali, ini saya ketahui karena saya sering menjadi perantara dalam korespondensi mereka.
      Setelah mengikuti tetralogi Bumi Manusia, Wertheim pernah mengatakan bahwa Pramoedya adalah novelist besar yang hanya satu kali dalam satu abad dilahirkan oleh Indonesia, sebaliknya kita tanpa ragu bisa mengatakan bahwa Wertheim adalah sahabat rakyat Indonesia paling mulia dan paling berjasa yang dilahirkan Belanda satu kali dalam satu abad. Di abad lalu rakyat kecil Indonesia mendapatkan sahabat sejati dalam diri Multatuli, di abad 20 Indonesia mendapatkannya dalam diri W.F. Wertheim. Dialah Multatuli abad 20 yang mencintai dan membela rakyat kecil Indonesia, tetapi Wertheim menghadapi tugas yang jauh lebih berat karena kali ini dia bukan saja menghadapi kolonialisme Belanda akan tetapi kolonialisme lebih kejam lagi oleh jendral-jendral Indonesia yang menindas rakyatnya sendiri.
     Karena perkenalan dan persahabatan yang lama, saya tahu pasti bahwa beliau dengan segala kerendahan hati pasti akan mengatakan “jangan” bila saya melontarkan suatu angan-angan untuk membangun patung peringatan di Indonesia : Wertheim di samping Multatuli. Oleh karena itu, pada saat Komite Indonesia sekarang akan membubarkan diri, maka saya masih tetap mengharap agar ada sesuatu dari Wertheim dalam satu atau lain bentuk yang terus dihidup-hidupkan sebagai kenangan abadi sepenggal dalam sejarah kedua bangsa kita, Belanda dan Indonesia. Sejarah aspek-aspek positif di samping yang pahit dan negatif, yaitu  sejarah rakyat-rakyat yang bersahabat, sejarah kebersamaan dalam perjuangan membela hak-hak azasi dan martabat manusia, membela keadilan bagi rakyat kecil yang tertindas.
     Keharuan meliputi sekujur badan saya, ketika Pramoedya dan saya berkunjung ke Balanda pada bulan Juni ‘99 tahun lalu. Tidak sempat kita melihat pertemuan dua sahabat besar ini, Pram dan Wim Wertheim. Pelipur lara adalah bahwa Pram bisa bertemu dengan segenap keluarga Wertheim, dan pelipur lara lebih besar lagi tentulah bahwa Wertheim sebelum akhir hayatnya masih berkesempatan mengalami puncak perjuangannya : tumbangnya diktator Jawa paling munafik berjubah “demokrasi Pantjasila”, paling kejam terhadap rakyatnya sendiri.
     Mengakhiri catatan kenangan ini, ingin saya – sebagai editor dan penerbit buku-buku Pramoedya – mengeluarkan satu pernyataan resmi dan terbuka walaupun mungkin sudah diketahui oleh beberapa orang terdekat sebagai berikut : karya Pulau Buru – tetralogi Bumi Manusia – yang masyur oleh Pramoedya Ananta Toer, sekarang dibaca di mana-mana berkat terjemahan ke dalam berbagai bahasa, semua itu berlangsung  berkat sentuhan W.F. Wertheim. Saya menyatakan ini dengan bangga dan terbuka, karena ketika saya meng-edit quartet Buru itu tak mungkin saya lakukan seperti apa yang ada di tangan pembaca di seluruh dunia sekarang ini, tanpa saya didampingi oleh Prof. W.F. Wertheim.
     Saya menundukkan kepala memberikan hormat setinggi-tinginya kepada putera besar Belanda ini, saya berterimakasih pribadi sebagai editor, sebagai ex-tapol mau pun sebagai warga Indonesia atas segala jasa W.F. Wertheim yang tak ternilai kepada penerbit Hasta Mitra, kepada rakyat kecil Indonesia yang dia cintai dan bela sampai akhir hayatnya.

Joesoef Isak, editor Hasta Mitra

Subowo bin Sukaris
hasta mitra Updated at: 9:27 PM